Setelah kemerdekaan, Ari Dwipayana menyebutkan bahwa tantangan utama yang dihadapi para kaum terpelajar Bali adalah masalah pengakuan dari Negara Republik Indonesia. Hal itu terjadi karena Negara RI yang baru merdeka ikut memberikan mendefinisikan agama dan menentukan kriteria agama yang resmi diakui Negara. Pada tahun 1952, Kementerian Agama menetapkan syarat-syarat agar suatu agama diakui oleh Negara.
Dalam merespon tantangan baru tersebut, para intelektual Bali membutuhkan waktu kurang lebih tiga belas tahun untuk mendapatkan pengakuan dari Negara. Momen puncaknya adalah tanggal 29 Juni 1958, delegasi yang mewakili lima perkumpulan Agama Hindu-Bali menemui Presiden Sukarno di Istana Tampaksiring untuk menyampaikan resolusi.
Delegasi terdiri dari Ida Pedanda Made Kemenuh (Paruman Para Pandita), I Gusti Anandakusuma (Satya Hindu Dharma), Ida Bagus Wayan Gede (Yayasan Dwijendra), Ida Bagus Gde Dosther (Angkatan Muda Hindu-Bali), dan I Ketut Kandia (Panti Agama Hindu Bali). Presiden Sukarno didampingi I Gusti Putu Merta (Ketua DPRD), A.A. Bagus Suteja dan I Gusti Bagus Sugriwa dari Dewan Pemerintah Daerah Bali.
Pertemuan antar delegasi Hindu-Bali dengan Presiden Sukarno membuahkan hasil. Berselang beberapa bulan setelah itu, pada tanggal 5 September 1958, Menteri Agama berdasarkan Keputusan Menteri Agama No.2 tahun 1958, memutuskan membentuk Bagian Hindu Bali di Kementerian Agama RI. Hal ini menandai tahap penting perjuangan mendapatkan pengakuan resmi dari Negara pada agama Hindu-Bali.
Tantangan Baru
Pada orasi ilmiahnya, Ari Dwipayana yang juga Tokoh Puri Kauhan Ubud, menyebutkan salah satu keberhasilan kaum terpelajar Bali adalah invensi kelembagaan dengan mendirikan Parisada. Pembentukan Parisada sebagai Majelis tertinggi agama Hindu yang berskala nasional, memberikan peluang yang lebih besar bagi kalangan intelektual untuk menyatukan rumusan kanon teologis yang bersifat universal, membakukan bahan ajar agama Hindu serta menstandarisasi sistem ritual yang berlaku di berbagai tempat di Indonesia.
Sampai dititik ini proses penyatuan dan pelembagaan agama Hindu di Indonesia telah membuahkan hasil. Dan capaian ini menjadi prestasi tersendiri, karena di berbagai negara, termasuk di India sekali-pun, mengalami kesulitan dalam menyatukan dan melembagakan berbagai variasi aspirasi Hinduisme dalam sebuah Lembaga tunggal seperti Parisada.
Namun Ari Dwipayana mengingatkan ditetapkannya Parisada sebagai Majelis tertinggi agama Hindu yang bersifat tunggal, tersentralisir dan berskala nasional menimbulkan kosekuensi. Parisada menjadi medan baru yang menggantikan saluran aspirasi berbagai kepentingan kelompok keumatan.
Dan memindahkan arena perdebatan, polemik kebudayaan yang terjadi sebelumnya terjadi antar berbagai perkumpulan ke Parisada. Hal ini nampak jelas dari dinamika yang terjadi di tubuh Parisada, sejak awal berdirinya sampai dengan hari ini.
Walaupun Parisada masuk dalam berbagai pusaran, Ari Dwipayana menekankan bahwa pergerakan Hindu sesungguhnya tidak hanya berputar di Parisada. Aktivisme Hindu jusru bergerak di akar rumput, terutama di kantong-kantong umat Hindu di luar Bali yang melahirkan para pembela dan pejuang terus bergerak ditengah kesulitan.
Kehadiran mereka membuat agama Hindu mempunyai harapan, bukan hanya untuk bisa bertahan, tetapi untuk bergerak untuk kehidupanyang lebih baik.(*/tri)