Tafsir An Nisa 36 (Seri-1)

Selasa 11 Mei 2021, 08:00 WIB
Marullah Matali, Sekretaris Daerah (Sekda) DKI Jakarta. (foto: ist)

Marullah Matali, Sekretaris Daerah (Sekda) DKI Jakarta. (foto: ist)

Oleh: Marullah Matali, Sekretaris Daerah (Sekda) DKI Jakarta

IBADAH itu bukan hanya sekadar ketaatan dan ketundukan semata, melainkan suatu bentuk ketundukan dan ketaatan yang mencapai puncak kepada yang memiliki kekuasaan yang mutlak yaitu, Allah SWT. Begitulah perkataan Muhammad Abduh.

Kemudian perintah ibadah dalam ayat ini bukan hanya ibadah mahdhah yang telah ditentukan cara, kadar, dan waktunya seperti halnya salat, zakat, puasa dan lain-lain, melainkan mencakup segala aktivitas yang hedaknya dilakukan kerana Allah. Ayat ini diperjelas dengan ayat Al-Qur’an yang lain yang artinya: ”Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al An’am [6]: 162).

Setelah itu, Allah memerintahkan berbakti kepada kedua orang tua, istilah yang digunakannya Al-Walidain. Kata ini, dua kata dari kata walid yang bisa diterjemahkan dengan bapak/ayah. Ada juga abi dan umi.

Menurut Prof Quraish Syihab, penyusun tafsir Al Misbah, bahwa kata walad digunakan secara khusus untuk bapak dan ibu kandung, bukan halnya dengan kata abb atau umm yang biasa digunakan dengan status kandung ataupun bukan kandung.

Hal ini tentunya melihat firman Allah yang artinya: “Para ibu menyusukan anak-anak mereka dua tahun sempurna bagi yang berkehendak meyempurnakan penyusuan.” (QS. Al-Baqarah [2]:233).

Ini dipahami untuk ibu kandung, kemudian melihat ayat berikutnya yang artinya: “Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri, dan istri-istri beliau adalah ibu-ibu mereka.” (QS. Al-Ahzab [33]:6).

Hal ini digunakan kata-kata ummahatukum yang definisinya: bukan ibu kandung tetapi ibu yang wajib untuk dihormati, sebagimana halnya ibu kandung.

Al-Qur’an menggunakan kata penghubung bi ketika berbicara tentang berbakti kepada ibu-bapak, wa bi al-walidaini ihsanan. Padahal bahasa juga membenarkan penggunaan li yang berarti untuk atau ila yang berarti kepada untuk penghubung kata ihsan.

Penjelasan menurut para pakar, kata ila mengandung makna jarak, sedangkan Allah tidak menghendaki tidak adanya jarak walau sedikitpun dalam hubungan antara anak dengan orang tuanya.

Baca Juga:

Penggunan kata bi mengandung arti ilshaq, yakni kelekatan karena itu anak harus selalu dekat dengan orang tuanya, yang manfaatnya akan terasa oleh diri sendiri, begitu pula dalam hal ini tidak mempergunakan kata lam (li) yang mengandung makna peruntukan.

Syaikh Muhammad Thahir Ibn Asyur mempunyai pandangan lain, menurutnya, bila kata ihsan menggunakan partikel ba (bi), yang maksudnya adalah penghormatan dan pengagungan yang berkaitan dengan pribadi seperti halnya firman Allah yang artinya: “Dia membebaskan aku dari penjara” (QS. Yusuf [12] 100).

Perintah ihsan ditujukan untuk berbakti kepada orang tua yang se-agama, sedangkan untuk kata makruf adalah jika kedua orang tuanya bukan penganut Islam dan perintahnya bertentangan dengan nilai-nilai agama Islam.

Dan memerintahkan berbuat baik kepada kerabat, yatim, orang orang miskin, dan tetangga yang dekat (kekeluargaan, hubungan keagamaan, dan hubungan kerja) Setelah perintah tersebut, dilanjutkan dengan perintah berbuat baik kepada tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh. Sementara ulama menetapkan bahwa tetangga adalah penghuni yang tinggal di sekeliling rumah anda, ada yang membatasinya dari rumah pertama sampai empat puluh dan ada juga yang tidak membatasinya.

Berbuat baik kepada tetangga itu baik yang se-agama ataupun tidak seagama, dengan ikut bergembira ketika gembira, begitu pun sebaliknya. Rasul bersabda kepada sahabatnya: “Wahai abu dzar, apabila engkau (keluargamu) memasak daging, perbanyaklah kuahnya dan berilah tetanggamu” (HR. Muslim).

Wash shahibi bi al-janbi, kata ini dapat juga dimaknai dengan istri, bahkan siapapun yang selalu menyertai seseorang dirumahnya, termasuk para pembantu rumah tangga. Hal ini karena setalah ataupun sebelum al-Qur’an diturunkan, masih banyak terdapat kekerasan dalam rumah tangga ataupun terhadap pembantu.

Mukhtalan fakhuran. Kata mukhtalan yang artinya sombong, terambil dari kata yang sama dengan khayal. Karenanya, kata ini pada mulanya berarti orang yang tingkah lakunya diarahkan oleh khayalannya, bukan oleh kenyataan yang ada pada dirinya. Kuda dinamai khail karena cara berjalannya mengesankan keangkuhan.

Kata fakhuran, yakni seringkali membanggakan diri. Memang, kedua kata mukhtal dan fakhur mengandung makna kesombongan, tetapi yang pertama kesombongan yang terlihat dalam tingkah laku sedang yang kedua adalah kesombongan yang terdengar dari ucapan-ucapannya.

Dalam ayat ini Allah mengajarkan kita:

1.Cinta kepada Allah Bukti cinta kepada Allah salah satu caranya adalah dengan menyembahnya dan jangan menyekutukannya dengan apapun dan siapapun, dan juga karena Allah itu tidak ada tandingannya. Menyembah Allahpun berbagai cara, di antaranya salat, puasa, dzkir, dan hal-hal yang lainnya yang kebanyakan bersifat sakral.

Kemudian timbul pertanyaan “Kenapa kita harus menyembah Allah?”

Di antara jawabannya adalah agar kita selamat dunia dan akhirat, agar kita dipelihara oleh Allah. Allah tidak boleh digambarkan, tidak boleh dimisalkan, tetapi kita sebagai umat Islam harus meyakini bahwa kita semua akan bertemu dengan Allah, hal tersebut merupakan puncak kenikmatan akhirat yang tiada taranya. Bersambung

Berita Terkait

Tafsir An Nisa 36 (Habis)

Rabu 12 Mei 2021, 08:00 WIB
undefined
News Update