Bank Dunia memprediksi angka kemiskinan ekstrem tahun 2021 ini bisa mencapai 150 juta orang. Setidaknya 47 negara terancam kemiskinan ekstrem akibat pandemi.
Di negeri kita sendiri, seperti dirilis Badan Pusat Statistik Nasional (BPS), angka kemiskinan bertambah 2,76 juta jiwa, total menjadi 27,55 juta jiwa (10,19 persen dari total penduduk).
Itu data hingga September 2020. Bagaimana dengan tahun 2021 ini? Jawabnya akan tergantung kepada sejauh mana penanganan pandemi dan upaya pemulihan ekonomi nasional dapat dijalankan.
Tak kalah pentingnya kebijakan ekonomi yang berkelanjutan untuk mengentaskan kemiskinan akibat terdampak pandemi.
Dalam situasi seperti sekarang ini, kebijakan berkelanjutan harus dipaksakan secara terpusat.
Bahwa pelaksanaannya disesuaikan dengan kearifan lokal, karakteristik daerahnya memang harusnya demikian. Tetapi semuanya harus selaras mulai dari pusat hingga daerah.
Itulah pentingnya sinkronisasi dan kolaborasi kebijakan.Tak elok, yang satu “ngalor”, lainnya “ngidul” karena ego sektoral, lebih – lebih bernuansa pencitraan.
Kemiskinan tak ubahnya penyakit yang harus segera diobati, jika negara ingin kuat dan hebat, maju dan sejahtera. Ibarat penyakit kronis karena emergency pandemi, stimulus berupa bantuan sosial harus dilanjutkan hingga pasien sembuh.
Yang patut dicatat, stimulus harus tepat sasaran. Diagnosa yang tidak tepat menjadikan pemberian obat jalan terus, tetapi penyakit tak kunjung sirna.
Tahap selanjutnya stimulus ratusan triliun rupiah dialihkan kepada kegiatan yang lebih produktif untuk mendorong kemandirian. Kepala daerah hendaknya dapat memanfaatkan stimulus sebagai upaya memberdayakan potensi daerahnya.
Tentu dengan meningkatkan partisipasi masyarakat mewujudkan kemandirian dalam segala sektor kehidupan.
Ingat! Mengentaskan kemiskinan tak sebatas kemandirian dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia, tetapi menyangkut bidang pendidikan dan kesehatan sebagaimana diamanatkan undang – undang. (*).