Tepi Pluit: Catatan Bumi Pertiwi

Minggu 25 Apr 2021, 07:00 WIB
Logo Tepi Pluit

Logo Tepi Pluit

TEPAT tanggal 22 April kemarin kita memperingati Hari Bumi. Para ilmuwan memperkirakan usia Bumi kita ini 4,54 Miliar tahun. Usia yang sudah sangat tua dan sering kali kita kurang mensyukuri Bumi tempat kita hidup ini.

Yang seharusnya kita jaga dan pelihara tapi kita rusak dan eksploitasi terus menerus, sering kali manfaatnya lebih banyak dirasakan hanya oleh segelintir kalangan saja, bukan oleh seluruh manusia. 

Bencana alam yang semakin banyak kita hadapi akhir-akhir ini bukan tidak mungkin adalah sebab akibat dari ulah kita juga terhadap lingkungan.

Lahan - lahan pertanian berubah fungsi menjadi kawasan industri pabrik.

Hutan sebagai penyangga air dan pencegah banjir dikonversi menjadi perkebunan tanaman industri.

Daerah resapan air di perkotaan beralih dibangun menjadi pusat perbelanjaan dan gedung-gedung komersial.

Kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi kita gali sebanyak-banyaknya tanpa memikirkan efek jangka panjangnya.

Tanggal 5 April kemarin saya berkesempatan datang ke kantor Sekretariat Negara. Saat sedang berjalan, langkah saya terhenti ketika melihat sebuah lukisan yang baru terpajang, karya Putu Sutawijaya berjudul Bakti Pertiwi.

Lukisan ini terinpirasi dari relief Garudeya di Candi Kedaton, Probolinggo.  Kira-kira sebulan sebelumnya lukisan tersebut turut dipamerkan dalam acara vaksinasi massal untuk seniman di Padepokan Bagong Kussudiardja, Bantul, DIY yang dihadiri langsung oleh Presiden Jokowi. 

Lukisan "Bakti Pertiwi" secara imajinasi pelukisnya menggambarkan Garuda Jatayu yang dikelilingi oleh banyak orang, bersimpuh hormat meminta restu kepada ibu Pertiwi untuk melawan angkara murka. Ibu Pertiwi adalah perwujudan dari bumi tanah air Indonesia.

Nama Pertiwi sendiri diambil dari nama Dewi Pertiwi atau Dewi Bumi, Alam dan Lingkungan Hidup. Penggambaran Ibu Pertiwi dapat kita lihat pada sebuah patung Dewi berbusana kerajaan Hindu-Buddha di Monumen Nasional. 

Bagi saya ketika melihat lukisan tersebut mempunyai arti dan pesan khusus yang tersendiri.

Makna yang bisa saya simpulkan adalah kita harus menghormati dan bisa menjaga keharmonisan dengan alam Bumi Pertiwi dan isinya untuk dapat mencapai keadilan dan kesejahteraan yang bisa dirasakan secara merata oleh kita semua.

Ada sebuah falsafah Jawa berbunyi "Alam iki sejatining guru" yang berarti "Alam adalah guru yang sejati".

Dengan mempelajari alam kita dapat mengerti dan merasakan kemahakuasaan, kemahamurahan dan kemahaadilan Allah Tuhan Yang Maha Esa. Dengan mempelajari dan menghormati alam akan meningkatkan kepekaan hati nurani dan "roso" belas kasih kita terhadap sesama makhluk hidup.

Dan dengan mempelajari alam membuat kita lebih memahami akan misteri alam yang sudah menjadi ketentuan-Nya. 

Semoga Negara dan kita semua dapat lebih sadar akan pentingnya menjaga dan memelihara lingkungan hidup, untuk kebaikan kita dan generasi anak cucu kita kedepannya. (Azisoko)

Berita Terkait

Tepi Pluit: 70 Hari Setelah Palu Patah 

Minggu 09 Mei 2021, 07:00 WIB
undefined

Tepi Pluit: Sudahkan Kita Bangkit?

Minggu 23 Mei 2021, 07:00 WIB
undefined

Alunan Suara Ibu Harmoko

Minggu 06 Jun 2021, 07:00 WIB
undefined

Tepi Pluit: Curcol Bro Joni

Minggu 13 Jun 2021, 07:00 WIB
undefined
News Update