Oleh : Sekretaris Daerah DKI Marullah Matali
HIKMAH Ramadan tercermin dalam ungkapan Marhaban Ya Ramadan. Katanya, kalimat Marhaban berasal dari suku kata rahab.
Rahab mempunyai dua makna, yaitu lapang. Di mana tamu yang datang kita sambut dengan lapang dada, tidak menggerutu. Kemudian, makna kedua adalah tempat luas untuk mengambil bekal atau memperbaiki kendaraan bagi musafir.
Artinya, Marhaban ya Ramadan bukan sekadar hati lapang menerima Ramadan, melainkan juga bersedia untuk mengambil bekal perjalanan menuju akhirat.
Dan bersedia memperbaiki apa yang salah dari niat kita dan tingkah laku kita.
Jadi sebenarnya menyambut Ramadan itu kita harus melakukan instrospeksi apa yang salah, apa yang kurang, dan apa yang perlu diperbaiki.
Tradisi pesantren dilakukan oleh para kiai dalam menyambut bulan Ramadan. Tradisi di pesantren biasanya para kiai mengajar kitab dua atau tiga kali (sehari) di antaranya adalah untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait cara pandang orang-orang terdahulu tentang puasa.
Katanya, salah satu cara untuk menjadi orang shaleh adalah meniru orang-orang shaleh terdahulu. Karena di ayat "Ihdinas shirathal mustaqim" Allah tidak berkata tunjukkan jalan-Mu, tetapi jalan mereka yang telah Allah berikan nikmat.
Setelah membaca versi ulama dahulu, masyarakat akan tahu niat dan cara pandang ulama tentang Ramadan secara benar.
Di antaranya adalah dengan puasa, manusia merasakan lapar, betapa sakitnya orang-orang miskin yang lapar, sehingga bisa menghormati makanan karena begitu nikmatnya.
Betapa hebatnya Rasulullah dalam memuji Ramadan dengan hal-hal yang lumrah dan wajar. Kata Nabi Muhammad, orang berpuasa memiliki dua kebahagiaan, yaitu saat berbuka dan saat bertemu Allah.
Ketika Ramadan, makanan yang boleh jadi kita sepelekan sebelumnya, tapi begitu berharga saat Ramadan, bahkan air putih juga berharga.