Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) berkomitmen untuk meningkatkan penyerapan garam rakyat, di samping tetap menggunakan garam impor.
Kebutuhan bahan baku garam pada industri makanan dan minuman tersebut untuk tahun ini akan berkisar 743.000 ton. Angka itu lebih tinggi dari tahun lalu sebanyak 530.000 ton.
Ketua Umum Gapmmi Adhi S. Lukman mengatakan untuk kebutuhan tahun ini, industri tidak akan sepenuhnya mengandalkan garam impor.
Baca juga: Stok Impor Garam Membludak, Garam Petani Lokal Tidak Terserap
Dia menyatakan telah ada komitmen penyerapan garam rakyat sebanyak 131.000 ton. "Tentunya kalau PT Garam bisa menambah produksi garam industri, kami akan lebih besar penyerapannya," tuturnya.
Adhi menyebut industri makanan dan minuman dituntut membuat produk yang baik dengan masa simpan yang panjang. Alhasil, jika banyak ditemukan kontaminan, maka kualitas produk akan sulit bersaing.
"Petani kalau bisa bikin garam bagus dan harga bisa diatur supaya lebih untung tetapi dengan kualitas tinggi tentu akan diserap industri," lanjutnya.
Adhi menegaskan, garam industri punya kualitas tertentu yang harus dipenuhi. Misalnya, kadar NaCl harus minimal 97 persen. Kadar zat pengotor pada garam juga harus rendah. Zat yang dimaksud adalah kalsium dan magnesium.
Baca juga: Stok Garam Menipis, Industri Makanan dan Minuman Terancam Tak Berproduksi
"Kita dituntut membuat produk yang baik dengan masa simpan yang panjang. Kalau memakai garam dengan kadar pengotor banyak, produk kita kalah saing," urainya.
Industri makanan dan minuman pada 2020 mengimpor garam dengan nilai sebesar 19 juta dollar AS. Ekspor produk yang dihasilkan dengan bahan baku garam impor pada tahun yang sama, nilainya mencapai 31 miliar dollar AS.
"Nilai impor garam kecil, tapi menghasilkan nilai ekspor yang besar,” jelasnya.(tri)