JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Mahkamah Konstitusi (MK) diminta agar mengabaikan keterangan Hendrikus Bria Seran, saksi dalam perkara sengketa Pilkada Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur, antara paslon Stefanus Bria Seran-Wendelinus Taolin (SBS-WT) selaku pemohon melawan KPUD Kabupaten Malaka pada Persidangan tanggal 23 Februari 2021 kemarin.
Pihak terkait dalam perkara ini adalah paslon pemenang Simon Nahak dan Kim Taolin (SN-KT). Menurut kuasa hukum itu antara lain Maxi Dj A Hayer, Nicolas B. B. Bangngoe, dan Joae Meco dalam jumpa persnya di Kawasan Jakarta Selatan, Sabtu (13/3/2021).
Kesaksian Hendrikus Bria Seran harus diabaikan karena dia telah melakukan kebohongan atau memberikan keterangan palsu di dalam persidangan tanggal 23 Pebruari 2021.
Sebelum memberi keterangan, Hendrikus mengaku sebagai masyarakat biasa.
Tetapi, kenyataannya dia seorang PNS yang menjabat sebagai Sekretaris Desa Leunkklot, Kecamatan Rinhat, Kabupaten Malaka, NTT.
“Aturannya, kalau seorang PNS, datang memberi kesaksian di pengadilan harus seizin dari atasannya yaitu camat. Setelah kami cek, ternyata dia (Hendrikus,-red) tidak mempunyai izin dari camat,” ucap Maxi.
Baca juga: RUU Pemilu Resmi Dicabut dari Prolegnas, Pilkada Akan Dilakukan Serentak 2024
Selain itu, sebelum memberikan kesaksian, Hendrikus bersumpah dengan memegang Kitab Suci, namun menurut informasi ternyata orang yang membantu memandu dan menyodorkan Kitab Suci adalah bukan seorang rohaniawan tetapi seorang sopir.
Padahal, sebelum sidang Hakim bertanya kepada pihak terkait apakah sudah disiapkan rohaniwan untuk penyumpahan saksi dan pihak terkait mengiyakan.
“Padahal dalam peraturan perundang-undangan, yang menyodorkan atau menumpangkan Kitab Suci kepada saksi dalam persidangan, kalau bukan rohaniwan adalah petugas di pengadilan seperti panitera atau juru sita atau pejabat lain yang karena jabatannya berwenang untuk itu,” kata Maxi.
Maxi menambahkan, substansi keterangan Hendrikus dalam pengadilan berbanding lurus dengan kebohongan mengenai statusnya yakni dia memberikan keterangan tidak sesuai dengan fakta.
“Karena itulah, kami meminta MK agar kesaksian Hendrikus diabaikan,” pungkas Maxi.
Joao Meco menambahkan dalam permohonan ke MK, pemohon meminta MK agar membatalkan hasil Pilkada Malaka pada tanggal 9 Desember 2020 dan memutuskan agar dilakukan pemungutan suara ulang (PSU).
Pasalnya, Pilkada Malaka pada 9 Desember itu, telah terjadi pelanggaran terstruktur, sistematis dan masif yang dilakukan oleh pihak termohon dan juga pihak terkait.
Salah satu pelanggaran yang dilakukan pihak terkait seperti menjanjikan akan memberi gaji setiap kepada semua tetua adat (fukun) di Kabupaten Malaka.
“Janji seperti ini ‘kan money politic (politik uang, red,” kata Joao Meco. (adji/mia)