Oleh Harmoko
NEGERI kita memiliki kekayaan alam yang luar biasa, yang melimpah ruah. Sering diibaratkan “Subur kang sarwa tinandur” (tanahnya subur dan ditanami apa saja tumbuh).
Band legendaris “ Koes Plus” mengibaratkan tanah kita bagaikan tanah surga seperti petikan syair lagunya yang merakyat, sebagai berikut :
"Orang bilang tanah kita tanah surga.
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman..
Kail dan jala cukup menghidupimu
Ikan dan udang menghampiri dirimu.."
Sepatutnya kita wajib bersyukur atas kekayaan sumber daya alam yang melimpah begitu rupa. Makin bersyukur jika tidak hanya subur, tetapi juga makmur.
Yah, subur dan makmur sehingga lengkaplah menjadi negeri yang “Subur kang sarwa tinandur lan murah kang sarwa tinuku ( tanahnya subur dan ditanami apa saja tumbuh. Serba murah dan terbeli oleh rakyat).
Tentu kita sepakat subur saja tidaklah cukup. Tiada guna tanah yang subur tapi tidak mendatangkan kemakmuran bagi rakyat. Tidak akan bermakna kekayaan alam yang melimpah, tapi kurang mendatangkan berkah ( kesejahteraan ) bagi rakyat.
Subur dan makmur dapat tercapai manakala rasa syukur diterjemahkan ke dalam sikap dan perilaku untuk menjaga, merawat dan mengelolanya demi kemakmuran rakyat.
Ini sejalan dengan tujuan negeri kita didirikan untuk menciptakan keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat, bukan segelinir atau sekelompok orang.
Begitu pun dalam mengelola kekayaan alam ditujukan demi kemakmuran rakyat sebagaimana telah diamanatkan dalam UUD 1945, utamanya pasal 33 ayat 3 dijelaskan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat”.
Yang kita maknai bukan sebatas penguasaan, tetapi bagaimana memanfaatkan semaksimal mungkin kekayaan alam untuk kesejahteraan.
Ada dua poin penting, yakni melestarikan sumber daya alam dan upaya pemanfaatan yang tidak merugikan masyarakat.
Jangan karena alasan pemanfaatan demi kemakmuran rakyat, lantas eksploitasi berlebihan yang akan merugikan generasi mendatang. Anak cucu kita kelak tinggal menerima ampasnya karena sudah diperas habis di era kini, untuk masa kini. Lebih - lebih jika sampai menanggung beban derita karena sumber daya alam sudah "tergadaikan".
Jika ini terjadi tak hanya menyimpang dari amanat undang – undang, juga mencederai perjuangan para pendahulu kita, para tokoh bangsa yang sudah bersusah payah mendirikan negeri ini.
Ini yang tidak boleh terjadi dan tidak akan terjadi selama kita semua peduli lingkungan ( dengan merawat, menjaga dan berupaya melipatgandakan kekayaan sumber daya alam).
Seluruh kebijakan pengelolaan dan pemanfaatkan sumber daya alam, tidak semata mengejar batas kemakmuran, tetapi melalaikan kelestarian sumber daya alam itu sendiri yang ditandai dengan rusaknya lingkungan.
Lebih ironi lagi, jika manfaat yang didapat hanya dinikmati segelintir orang, tetapi generasi mendatang yang menanggung akibat kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.
Itulah perlunya kebijakan yang serasi, selaras dan sejalan antara pemanfaatan kekayaan alam dengan kelestarian lingkungan sumber daya alam. (*)