JAKARTA, POSKOTA.CO.ID – Para buzzer politik di Indonesia dinilai banyak mempengaruhi opini masyarakat dan menyudutkan lawan politik. Pesan-pesan para buzzer ini membuat ruang publik terdistorsi.
Makin kerapnya penghinaan dan rasis di media sosial, dinilai banyak pihak muncul dari para buzzer politik.
"Buzzer politik sengaja mengemas pesan untuk mengaburkan batas antara aspirasi publik yang sesunguhnya dengan aspirasi ciptaannya," kata Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, M. Jamiluddin Ritonga, Senin (1/2/2021).
Akibatnya, lanjutnya, aspirasi dan kritik publik yang sesunguhnya tidak sampai dengan utuh kepada pemerintah.
Baca juga: Pakar Komunikasi ke Kementerian ATR: Hadapi Buzzer Mafia Tanah, Lawan!
Dalam jangka panjang, hal itu dapat memudarkan sensitivitas pemerintah terhadap kritik dan masukan publik.
"Aspirasi yang sampai ke pemerintah adalah hasil giringan para buzzer politik yang sengaja diviralkan melalui group aplikasi dan akun bot secara masif hingga menjadi trending topic. Aspirasi yang jadi trending topic inilah yang kemudian menjelma menjadi pendapat umum palsu," ucapnya.
Celakanya, tuturnya, pemerintah yang tidak sensitif menggunakan pendapat umum palsu itu sebagai dasar pengambilan kebijakan.
Akibatnya, kebijakan yang diambil pemerintah tidak mengatasi persoalan yang sesungguhnya.
Baca juga: KSP Bahas Ajuan Anggaran, DPR Sebut Influencer dan Buzzer Kesannya Kurang Baik
Hal ini kemudian membuat masyarakat makin kecewa kepada pemerintah yang dinilai sudah tidak pro rakyat.
"Semua itu terjadi karena para buzzer politik kebanyakan dibayar. Dalam melakukan aksinya, mereka biasanya tergabung dalam banyak kelompok aplikasi pesan, yang setiap kelompok terdapat lebih dari ratusan anggota. Mereka didukung pihak yang memproduksi konten, yang kemudian memviralkan sebuah pesan dengan cepat," ucapnya.
Mereka siap menyudutkan lawan politik dan siapa saja yang tidak sejalan dengan majikan yang membayarnya. Para pengeritik diserang habis-habisan hingga substansi kritiknya tenggelam.
Baca juga: Ketua MPR yakin di Tengah Gempuran Buzzer dan Influencer, Pers Masih Mampu Sajikan Informasi Sehat
Kiranya kasus kritik para oposisi di Indonesia diperlakukan seperti itu. Mereka dikalahkan bukan karena argumentasi yang lemah, tapi karena sosoknya diserang dari berbagai sudut.
Karena itu, ucapnya, kehadiran buzzer politik ini tidak membuat demokrasi semakin baik. Justeru demokrasi dilemahkan dengan mendistorsi pendapat umum. Akibatnya, demokrasi menjadi tidak produktif.
Para buzzer politik tentu punya majikan. Mereka dipelihara untuk melindungi dan mengamankan majikannya.
Walaupun harus diakui, paparnya, tidak semua buzzer politik dibayar. Ada buzzer yang secara sukarela melindungi dan mengamankan aktor politik yang menjadi idolanya. Namun kerja mereka ini tidak semasif buzzer politik bayaran.
"Kalau buzzer politik ini menciptakan pendapat umum palsu, tentu aparat hukun semeatinya dapat bertindak. Sebab, mereka ini sudah menggiring opini masyarakat yang sesungguhnya menjadi palsu," paparnya.
Sebagai negara hukum, tegasnya, aparat hukum seharusnya tidak tebang pilih untuk menindaknya. Siapa pun dibelakang mereka, seharusnya tidak ada yang kebal hukum di Indonesia. (rizal/tri)