Oleh Harmoko
Kemandirian pangan saat ini mendesak untuk segera direalisasikan agar tidak selamanya posisi negeri kita pada ketergantungan impor.
Fakta memperlihatkan, sampai sekarang impor bahan pangan masih dilakukan untuk menopang kebutuhan dalam negeri. Impor masih dianggap sebagai solusi instan jika kita kekurangan bahan pangan.
Impor memang kadang dibutuhkan untuk meredam gejolak harga akibat kelangkaan apa pun. Tetapi kemandirian pangan, tentu lebih dibutuhkan ketimbang solusi impor.
Kemandirian bukan meredam, tetapi mencegah sehingga tidak terjadi gejolak harga. Dengan kemandirian pangan, stabilitas harga dapat terjaga, gejolak harga dapat dicegahnya. Dengan kemandirian berarti tidak lagi ada tergantung kepada impor.
Negara disebut memiliki kemandirian pangan (food resilience), jika memenuhi setidaknya tiga syarat sebagai berikut:
Pertama, mampu memproduksi beraneka ragam pangan di dalam negeri.
Kedua, beragam pangan yang diproduksi dapat memenuhi kebutuhan yang cukup sampai di tingkat perseorangan bagi semua penduduk negeri, tanpa terkecuali.
Ketiga, beragam pangan yang diproduksi dapat memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi dan kearifan lokal secara bermartabat.
Bicara soal komoditas pangan tentu bukan hanya beras, tetapi juga palawijaya, buah –buahan, sayur mayur hingga garam dan rempah – rempah.
Hanya saja karena beras menjadi makanan pokok paling penting, maka perlu perhatian ekstra melalui kebijakan khusus untuk memberikan proteksi kepada petani.
Kita tahu problema utama perberasan nasional adalah harga yang fluktuatif, tak selamanya stok mencukupi kebutuhan dan kualitas produk yang tidak konstan.
Ini terjadi karena masih rendahnya produktivitas beras nasional akibat kian sempitnya lahan pertanian, kian rentannya daya tahan petani akibat penghasilan yang didapat tak sebanding dengan biaya produksi. Selain keterbatasan teknologi, permodalan dan akses pasar.
Membangun kemandirian pangan berarti memberdayakan petani meningkatkan produksinya. Lebih mendayagunakan potensi sumber daya lokal, baik sumber daya alam, manusia, sosial dan budaya untuk memperkuat kemandirian pangan.
Jika kita sepakati produk lokal sebagai primadona dalam pemenuhan kebutuhan pangan nasional, maka kebijakan di bidang pertanian mestinya tertuju kepada petani kecil, perlu adanya keberpihakan kepada petani sejati, bukan ‘petani berdasi”, bukan pula kepada korporasi.
Kemandirian pangan berarti pula berupaya secara terus menerus menopang kemandirian para petani agar secara maksimal mampu meningkatkan produksinya.
Mendukung dan memfasilitasi para petani mengembangkan tanaman diversifikasi untuk menambah penghasilan.
Tak kalah pentingnya, menopang kemandirian para petani dalam menjual hasil produknya. Ini untuk mencegah monopoli pasar.
Ketiga poin pencapaian kemandirian ini tak cukup sebatas wacana, tetapi harus diwujudkan dalam karya nyata, melalui kebijakan yang terpercaya dan dipercaya dapat mengangkat harkat dan martabat petani.
Saatnya petani dikedepankan, bukan dipinggirkan, termasuk ketika merumuskan kebijakan sektor pertanian berbasis kearifan lokal untuk menciptakan kemandirian pangan. (*)