Prof Dr Amir Santoso, Guru besar FISIP UI; Rektor Universitas Jayabaya,

Opini

Obrolan Minggu Profesor Amir Santoso: Polri

Minggu 17 Jan 2021, 06:00 WIB

PERGANTIAN Kapolri itu soal biasa yang jarang di perhatikan oleh sebagian besar publik. Ibaratnya mau diganti atau tidak sih peduli amat. 

Soalnya, dari dulupun Kapolri baru rasanya jarang yang berhasil membuat citra polisi menjadi baik dalam pandangan masyarakat.

Apalagi di jaman digital ini. Makin banyak saja prilaku anggota Polri yang bisa direkam dan diedarkan di media sosial.

Di sinilah pentingnya Polri memahami bahwa jaman telah berubah dan tehnologi telah makin maju. 

Jika dulu banyak prilaku yang bisa disimpan, sekarang hampir semuanya bisa terungkap bahkan bisa beredar di luar negeri. Citra Polri lalu ditentukan oleh video dan foto yang beredar tersebut. 

Dulu, polisi minta uang kepada sopir truk dan angkot hanya bisa dilihat oleh segelintir orang. Tapi baru-baru ini video polisi sedang diberi uang oleh sopir truk dan angkot, telah disaksikan oleh hampir semua kalangan.

Beredar juga video seorang sopir truk sedang memarahi petugas polisi yang konon mengembalikan surat-surat kendaraannya sambil melemparkannya ke tanah. 

Sopir itu naik pitam karena merasa polisi sangat menghinanya. Ini peristiwa yang dulu tidak akan pernah terjadi. Dulu mana ada sopir berani memarahi polisi. 

Beredar pula, seorang wanita penjual barang kelontong di sebuah pasar sedang marah-marah kepada polisi. Rupanya, polisi itu sedang melaksanakan tugas mengawasi pelaksanaan  protokol kesehatan, dan sedang menasehati pedagang tersebut agar mematuhi peraturan tentang PSBB.

Itupun kejadian yang tidak mungkin terjadi di masa lalu dimana tidak ada seorangpun orang awam yang berani terhadap polisi.

Mengapa warga makin berani terhadap polisi? Karena sekarang telah bersemi semangat kesetaraan atau egalitarianisme. Ini adalah dampak dari kemajuan pendidikan dan perkembangan Tehnologi Informasi. Jangan lupa hp sekarang sudah bisa dimiliki oleh pedagang pasar, pemulung dan petani kecil di kampung.

Dulu, polisi dan tentara dianggap sebagai warga pilihan karena itu diistimewakan. Seiring perjalanan jaman, orang makin menganggap polisi dan tentara sama saja dengan mereka. Yang beda hanya pakaiannya.

Jadi ketika warga tersinggung, mereka melawan. Apalagi ketika warga tahu melalui berbagai kanal berita tentang perlakuan tidak adil polisi terhadap mereka.

Yang kecil diinjak, yang besar dipundak. Beredar berita seorang nenek yang mengambil ranting pohon di halaman sebuah perkebunan, ditangkap dan diajukan ke pengadilan. Namun kemudian muncul video seorang konglomerat sedang diusung ramai-ramai dipundak sebarisan polisi. 

Terlepas dari apapun jasa konglomerat itu terhadap polisi, masalahnya adalah citra konglomerat, si apapun, sudah terlanjur buruk di mata publik. Jadi meskipun ada konglomerat yang suka membagi duitnya namun hal itu belum berhasil mengangkat citra mereka.

Jadi siapapun yang menjadi Kapolri tidak akan dipersoalkan oleh publik. Mereka hanya menunggu apakah akan ada perubahan sikap polisi terhadap masyarakat setelah Kapolri baru dilantik. Misalnya, jika dulu, polisi dianggap sering berlaku tidak adil, apakah sekarang bisa menjadi lebih adil.

Jika dulu polisi sering menangkap  dan menahan si lemah, apakah nanti si kuat yang bersalah juga akan ditangkap dan dikerangkeng di sel yang sama dengan si lemah? 

Jika dulu, polisi dianggap suka menginjak yang dibawah apakah nanti dibawah Kapolri baru akan mampu mengayomi semua lapisan masyarakat. 

Jika tidak ada perubahan jangan salahkan jika masyarakat akan tetap skeptis dan akan lebih berani melawan polisi. 

Karena itu saya sarankan agar pasukan cyber polisi tidak hanya difungsikan untuk mengawasi teroris dan hoax. Mestinya mereka diharuskan mengawasi konten medsos untuk mengamati perkembangan  dan perubahan sosial dan menganalisisnya. Ini agar polisi bisa segera menangkap dan memahami nuansa perubahan sosial tersebut guna keperluan pendidikan internal Polri.

Menyikapi prilaku masyarakat tidak bisa dan tidak boleh hanya melalui pendekatan hukum dan kekuasaan. Menghadapi masyarakat, dibutuhkan kesabaran dan kebijaksanaan. Agar bisa sabar dan bijak, dibutuhkan keluasan wawasan terutama di kalangan atasan Polri.

(Profesor DR Amir Santoso, Gurubesar FISIP UI; Rektor Universitas Jayabaya, Jakarta).

Tags:
Obrolan MingguProfesor Amir Santoso:Polri

Reporter

Administrator

Editor