“HALO Bapak Ibu, apa kabar. Baik-baik saja ya. Apa masih terus mengikuti berita? Apa komentar soal Pilkada serentak 2020. Jurdilkah, atau ada penyelewengan kah, misalnya ada serangan fajar, bagi-bagi sembako atau amplop berisi duit?” Tanya sahabat Bang Jalil dari jarak jauh.
“Kalau ada, saya ambil, tapi ini mah nggak ada. Saya tunggu-tunggu nggak ada yang nyebar amplop, Pak!” ujar istri Bang Jalil.
“Yang mau nyebar amplop juga nggak mikir. Mereka sadar, pakai cara apa pun termasuk serangan fajar, nggak bakalan tembus, wong lawannya anak dan family pejabat?” kata sahabat.
Baca juga: Mencari Bakal Pejabat yang Amanah
Pikada di era pandemi ini memang banyak cerita. Ada calon yang meninggal di saat pemilihan, ada juga yang ditangkap KPK dengan dugaan korpsi. Timses yang menyebar ampolp, ketahuan petugas petugas. Ya, macam-macam ya? Itu namanya dinamika Pilkada bupati dan wali kota 2020.
“Jadi jangan heran kalau ada masalah di sana sini, Itu kan biasa,sepanjang Pemilu kayaknya masalahnya sama, kayak begitu. Selepas ini, pasti ada ribut-ribut. Curanglah dan macam-macam tuduhan dari yang kalah. Terus ke pengadilan?” kata sahabat.
“Kok ada yang ditangkap kenapa Pak?” Tanya istri Bang Jalil, sekadar bertanya.
Baca juga: Serakah, Kemaruk, Amburadul
“Mereka diduga korupsi. Bayangkan saja, untuk biaya Pilkada itu mahal, puluhan miliar. Nah, kalau yang nggak punya dana, ya pada main sama yang punya proyek. Di situlah pada memainkan jabatan, sampai timbul korupsi! ” kata sahabat.” Tapi, bagi anak atau saudara pejabat, ya beda lah.”
“Oh, gitu ya? Saya mau dong jadi saudara pejabat?” ujar istri Bang Jali sambil ngeloyor ke warung beli sembako yang harganaya mulai naik.
Mau jadi anak siapa saja boleh. Kan semua sama punya hak, yang penting ketika jadi pejabat mampu mengayomi rakyat, mengapa tidak?
Baca juga: Yang Ini, Boleh Jadi Lebih Rentan
Tapi, biar latar belakangnya orang biasa, misalnya dari ‘selokan’, kalau nggak amanah, terus korupsi. Ah, nggak mecing kan? (massoes)
.jpg)
.webp)
