"Ratusan nyawa hilang saat Pilpres lalu, dan sekarang 6 nyawa hilang paksa seusai Pilpres yang sudah setahun. Jika kita tidak ingin krisis eksistensi negara seperti dialami Suriah, Libia, dan Irak dialami negara tercinta ini; maka tidak boleh ada satupun pihak (aktor politik, aktor sipil maupun aktor negara, red) yang mengambil posisi superior dan mengedepankan hard-power," tegas Mahfuz.
Baca juga: Partai Gelora Menang 57 Persen di Pilkada 2020, Anis Matta: Saatnya Kembali Berkolaborasi
Mahfuz mengingatkan, bahwa Pancasila telah menyediakan budaya dan mekanisme musyawarah dan demokrasi, kemanusiaan dan keadilan.
"Jadi rakyat hakikatnya adalah entitas yang harus dirawat, dan pemimpin/penguasa kewajibannya adalah merawatnya. Jikapun penegakan hukum harus dilakukan dalam rangka merawat kebaikan bersama (mashlahat ammah, red), maka hukum juga harus ditegakkan dengan adil, manusiawi dan demokratis," katanya.
Kehadiran FPI, GNPF, 212 dan lain-lain, menurut Mahfuz, adalah bagian dari rakyat yang termobilisasi dalam proses politik pemilu dan proses permainan politik kekuasaan.
"Mereka tidak pernah menang dalam pemilu karena mereka bukan parpol atau paslon. Tapi mereka akhirnya harus terus membayar semua biaya dan konsekuensinya," kata Sekjen Partai Gelora Indonesia ini.
Baca juga: Selain HRS, Ini 5 Nama yang Akan Ditangkap Polda Terkait Pasal Penghasutan
Padahal mereka adalah bagian dari komponen bangsa Indonesia, yang sangat mungkin membangun kesadaran dan pemahaman bersama, bahwa negara sedang menghadapi krisis multidimensi sebagaimana dialami dunia secara keseluruhan.
Bahkan Indonesia juga sedang menghadapi gelombang dari perang supremasi kekuatan-kekuatan global yang mengancam eksistensi Negara Kesatuan Repulik Indonesia (NKRI).
"Kita sebabagi negara tidak boleh kalah apalagi hancur. Meminjam istilah Presiden Jokowi Indonesia harus bisa membajak situasi," pungkasnya. (rizal/ys)