JAKARTA - Peristiwa penembakan terhadap enam orang pengikut Muhammad Rizieq Shihab (MRS), bias disebut Habib Rizieq Shihab (HRS) oleh anggota Polri pada Senin (7/12) dini hari telah menjadi kontroversi baru.
Demikian disampaikan Ketua Badan Pengurus SETARA Institute Hendardi dalam keterangannya di Jakarta, Senin malam (7/12).
Hendardi menjelaskan bahwa di satu sisi Polri memaparkan alasan obyektif adanya ancaman terhadap jiwa manusia anggota Polri sebagai pembenaran atas tindakan represif yang dilakukan anggotanya.
Baca juga: Polisi Dalami Dua Senpi Milik 6 Laskar Pengawal HRS Yang Ditembak Mati
Di sisi lain, lanjut Hendardi, penggunaan senjata api oleh Polri dalam mengatasi peristiwa tertentu, tetap harus mengacu pada prosedur-prosedur yang ketat dan harus dapat dipertanggung-jawabkan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian dan Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara RI.
"Tertembaknya enam orang warga sipil tentu menjadi keprihatinan dan tidak seharusnya terjadi. Tetapi jika betul senjata-senjata yang ditunjukkan Kapolda Metro Jaya dan Pangdam Jaya adalah senjata milik anggota FPI, maka pembelaan Polri atas jiwa anggotanya yang terancam bisa diterima," terang dia.
Namun demikian, untuk memenuhi standar yang diterapkan dalam Perkap 8/2009 tersebut, Polri harus melakukan evaluasi pemakaian senjata api oleh anggotanya. Kapolri dapat memerintahkan Divisi Pengamanan Profesi dan Pengamanan (Propam) untuk melakukan evaluasi atas fakta-fakta yang menjadi alasan pembenar penggunaan senjata api.
Baca juga: 6 Anggota Pengawal HRS Ditembak OTK Saat ke Tempat Pengajian Subuh Keluarga
Pada saat yang bersamaan, SETARA Institute mendorong agar HRS kooperatif memenuhi panggilan Polri dalam pemeriksaan dugaan pelanggaran protokol kesehatan termasuk kasus-kasus lain yang mangkrak dan melibatkan dirinya sebelum menetap di Arab Saudi. Pembangkangan HRS atas upaya penegakan hukum dan kapitalisasi kharisma dirinya sebagai habib telah memicu kepatuhan buta beberapa orang pengikutnya yang merasa dirinya syahid saat membela HRS.
"SETARA Institute mengingatkan bahwa jika benar senjata api yang ditunjukkan oleh Polri adalah milik anggota FPI, mereka bukanlah syuhada sebagaimana klaim FPI tetapi pengikut buta yang dijadikan martil oleh HRS dan elit FPI untuk memupuk simpati," terang Hendardi.
Mereka telah memiliki senjata api secara ilegal dan ditujukan untuk menghalang-halangi penegakan hukum. Oleh karenanya tindakan mereka merupakan kejahatan.
Baca juga: Ratusan Demonstran di Polda Metro Jaya, Dukung Polisi Proses Hukum HRS
"Paralel dengan upaya evaluasi Polri, SETARA Institute mendorong Polri terus melakukan tindakan hukum yang tegas, terukur dan akuntabel menangani berbagai tindak pidana yang dilakukan anggota-anggota organisasi pengusung aspirasi intoleran, premanisme berjubah agama, dan elit-elit yang menjadi conflict entrepreneur di belakang mereka. Episode pasca kepulangan HRS adalah ujian bagi Polri untuk menegakkan hukum," Hendardi menjelaskan. (johara/win)