ADVERTISEMENT

Potensi Kembalikan Rezim Upah Murah, KSPI Desak Cabut UU Cipta Kerja

Selasa, 3 November 2020 12:21 WIB

Share
Potensi Kembalikan Rezim Upah Murah, KSPI Desak Cabut UU Cipta Kerja

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

JAKARTA - Dengan telah diundangkannya UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja per 2 November 2020, maka omnibus law UU Cipta Kerja resmi berlaku. Menanggapi hal itu, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) secara tegas menolak dan meminta agar undang-undang tersebut dibatalkan atau dicabut.

“Setelah kami pelajari, isi undang-undang tersebut khususnya terkait klaster ketenagakerjaan hampir seluruhnya merugikan kaum buruh,” kata Presiden KSPI, Said Iqbal, di Jakarta, Selasa (3/11/2020).

Menurut kajian dan analisa yang dilakukan KSPI secara cepat setelah menerima salinan UU No 11 Tahun 2020 khususnya klaster ketenagakerjaan, ditemukan banyak pasal yang merugikan kaum buruh. Beberapa pasal tersebut antara lain:

KSPI menilai akan berlakunya kembali sistem upah murah. Hal ini terlihat dengan adanya sisipan Pasal 88C Ayat (1) yang menyebutkan gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi dan Pasal 88C Ayat (2) yang menyebutkan gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/ kota dengan syarat tertentu.

Baca juga: Jubir Istana: Alhamdulillah, Presiden Jokowi Resmi Teken UU Cipta Kerja

Said Iqbal menuturkan, penggunaan frasa “dapat” dalam penetapan upah minimum kabupaten/ kota (UMK) sangat merugikan buruh. "Karena penetapan UMK bukan kewajiban, bisa saja gubernur tidak menetapkan UMK. Hal ini akan mengakibatkan upah murah. Kita ambil contoh di Jawa Barat. Untuk tahun 2019, UMP Jawa Barat sebesar 1,8 juta. Sedang UMK Bekasi sebesar 4,2 juta. Jika hanya ditetapkan UMP, maka nilai upah minimum di Bekasi akan turun," ujarnya.

Dengan kata lain, berlakunya UU Cipta Kerja mengembalikan kepada rezim upah murah. "Hal yang sangat kontradiktif, apalagi Indonesia sudah lebih dari 75 tahun merdeka. Apalagi ditambah dengan dihilangkan upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota (UMSK dan UMSP), karena UU No 11 Tahun 2020 menghapus Pasal 89 UU No 13 Tahun 2003," katanya.

Baca juga: Sri Mulyani Sebut Utang Indonesia Warisan Belanda, Anis: Tidak Relevan

Ia melanjutkan, dihilangkannya UMSK dan UMSP sangat jelas sekali menyebabkan ketidakadilan. "Bagaimana mungkin sektor industri otomotif seperti Toyota, Astra, dan lain-lain atau sektor pertambangan seperti Freeport, Nikel di Morowali dan lain-lain, nilai Upah Minimum nya sama dengan perusahan baju atau perusahaan kerupuk. Itulah sebabnya, di seluruh dunia ada Upah Minimum Sektoral yang berlaku sesuai kontribusi nilai tambah tiap-tiap industri terhadap PDP negara," tukasnya.

"Oleh karena itu KSPI meminta agar UMK harus tetap ada tanpa syarat dan UMSK serta UMSP tidak boleh dhilangkan. Jika ini terjadi, maka akan berakibat tidak ada income security (kepastian pendapatan) akibat berlakunya upah murah," imbuhnya. (rizal/ys)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT