JAKARTA - Wakil Ketua Fraksi PKS Netty Prasetiyani Aher merasa prihatin dan menyebut pemerintah harus bertanggung jawab meredakan situasi.
Hal ini terkait adanya penolakan terhadap UU Omnibus Law Ciptaker makin meluas ke daerah-daerah. Tidak hanya datang dari kalangan buruh, mahasiwa dan pelajar, bahkan kini melibatkan akademisi dan pimpinan daerah.
"Unjuk rasa pasti membawa imbas pada kehidupan masyarakat. Jika penanganannya kurang tepat bisa membawa banyak korban. Pemerintah harus bertanggungjawab meredakan situasi dengan cara-cara persuasif. Jangan bersikap seolah bersembunyi tangan setelah melempar batu," kata Netty Aher, Minggu (11/10/2020).
Baca juga: UU Cipta Kerja Bukan Semata Ketenagakerjaan, Tapi Ada Urusan Petani Hingga Digitalisasi Siaran
Menurut Netty, unjuk rasa meluas karena pemerintah kurang terbuka dan transparan terkait isi undang-undang Ciptaker secara utuh dan menyeluruh.
"Tolong tunjukan dengan jujur mana naskah final Undang-Undang Ciptaker hasil pembahasan Panja dan Timus Baleg DPR RI? Jangan lakukan pembiaran atas tafsir yang beredar di masyarakat dengan menyebut hal tersebut sebagai hoaks, namun tidak ada klarifikasi dengan bukti naskah asli. Bagaimana mungkin bisa terjadi sebuah undang-undang disahkan sementara anggota panjanya saja saja mengaku belum menerima naskah otentiknya?," ujarnya.
Tuai Kontroversi
Menurut Netty, sejak awal diluncurkan pasal-pasal terkait ketenagakerjaan, investasi dan klaster lainnya dalam RUU Omnibus Law Ciptaker sudah menuai kontroversi.
"Belum lagi duduk semua persoalan, proses pembahasannya malah disegerakan, dipaksakan, bahkan dibahas secara maraton saat pandemi Covid-19 sampai menabrak persidangan pada masa reses. Ketergesaan tersebut membuat akses dan partisipasi masyarakat terbatas dalam memberi masukan dan koreksi atas RUU yang menyinkronkan 79 UU dan terdiri dari 1203 pasal tersebut," katanya.
Netty mengatakan, selama masa pembahasan, F-PKS menilai bahwa proses penyusunan dan pembahasan Daftar Inventarisir Masalah (DIM) tidak dilaksanakan secara runtut dengan waktu cukup, sehingga berpotensi mengabaikan aspek kecermatan dan kualitas legislasinya.
Baca juga: Kerugian Akibat Demo Omnibus Law Bertambah jadi Rp65 Miliar