Dia menganalogikan dengan pecandu rokok. Tidak merokok orang takkan mati. Tapi sekali pernah merokok, berbulan-bulan tidak kena asap tembakao pasti kelimpungan, bibir terasa asem.
Dan analogi Darmadi 100 persen benar. Sebab ketika diajak dialog seputar hal-hal seronok antara lelaki-wanita dewasa, Juwariah sangat responsive. Diajak kopdar juga langsung oke.
Dan ketika ketemu secara pisik, oknum guru Darmadi spontan membatin, “Wah, ini sih enak digoyang dan perlu.”
Darmadi sudah punya keluarga, maka membawa Juwariah ke rumah sama saja bunuh diri. Maka bini TKI ini suka dibawa ke sekolahnya. Dia mengajar depan kelas bla bla bla, Juwariah menunggu di ruang guru.
Tapi begitu para murid sudah pulang semuanya termasuk para guru, Juwariah di bawa ke kelas tempatnya mengajar. Dengan beralaskan kasur tipis produk Palembang, nafsu mereka melayang-layang.
Baca juga: Pindah Agama, Adjie Notonegoro Mengaku Hidupnya Lebih Ringan: Gak Terlalu Pikirkan Dunia
Begitu itu berulang kali tanpa pernah terdeteksi. Ketika Darmadi pindah tempat mengajar di SD Karangrejo, program “merdeka mengajar” kembali diterapkan.
Dia mengencani Juwariah selepas para murid telah pulang. Untung saja tak ada kelas sore, sehingga program pelepasan syahwat oknum guru ini lancar jaya.
Tapi lama-lama istri Darmadi mengetahui sehingga dia melaporkan kelakuan suaminya pada Kasminto suami Juwariah di Taiwan. Tapi meski Kasminto pulang, dia tak mau ribut dengan pihak lain.
Istri langsung saja diceraikan, sementara anaknya diambil hak asuhnya. Adapun janda Juwariah mau diakuisi Darmadi atau tidak sebodo amat.
Setelah dicerai suami Juwariah berharap dia dikawin Darmadi sebagaimana janjinya. Dislendro-pelog (dipoligami) nggak papa, yang penting statusnya jelas.
Ternyata Darmadi mengingkari janji, dia tak mau mengawini Juwariah karena PNS memang tak boleh poligami (PP-10/2003).