Ia menyebutnya dengan istilah perang supremacy. Jadi satu bangsa ini muncul menyebabkan kematian yang lain, incumbent ini harus bertahan. Caranya dia harus menghabisi penantang ini.
"Sekarang mana yang kalah incumbent atau penantang, kita tidak tahu. Tapi sampai kapan berakhirnya kita tidak tahu. Tapi mereka berperang menggunakan semua sarana, perang dagang, teknologi, hingga budaya," ujarnya.
Keempat, faktor teknologi. Anis Matta mengatakan saat ini semua dipaksa berhijrah ke sistem digital, dan hal itu telah dilakukan Partai Gelora dengan sukses menyelenggarakan 'Gelora Digifest 2020' dan 'Gelora Kemerdekaan 2020', serta event-event lainnya beberapa waktu lalu.
Namun, soal hijrah ke sistem digital ini ternyata banyak instansi pemerintahan yang tidak siap dengan digitalisasi, karena tidak didukung dengan infrastruktur yang memadai.
"Ketika kita hijrah ke situ korbannya berapa banyak. Jadi keempat faktor ini adalah faktor disrupsi, yang sekarang ini terjadi sekaligus. Krisis ini bersifat sistemik, multidimensi, dan berlarut, lama waktunya," kata Anis Matta.
Lebih lanjut, Anis Matta yang dikenal sebagai pakar geopolitik internasional ini mengatakan, dalam satu analisa sistem global, dikatakan setiap 80 hingga 100 tahun ada perubahan dalam sistem global, sementara saat ini sistem tersebut usianya sudah mencapai 75 tahun.
"Misalnya abad ke-16 itu abadnya Portugis, abad ke-17 yang dominan Belanda, Abad ke-18 dan ke-19 itu yang dominan Inggris, abad ke-20 itu Amerika. Sekarang dominasi ini akan bertahan atau tidak, kita tidak tahu. Pandemi akan mempercepat perubahan tersebut," pungkas Anis Matta. (win)