“Saya pernah dengar cerita soal pak Pieter itu dari sesepuh di sini. Kadang saya sendiri juga sering merasa takut juga pas jualan sayuran malam-malam di sini,” cerita Saripah (48), pedagang sayuran saat ditemui di Pasar Pecah Kulit, Jakarta Barat, Senin (20/7/2020).
Saripah mengaku sudah berjualan dari tahun 1992, saat pasar tersebut belum memiliki instalasi listrik.
“Dulu di depan kios saya ini jalanan becek, gelap gulita, kita para pedagang pakai petromak, lilin dan lampu cempor (lampu minyak tanah),” kata dia.
Terkadang saat dini hari pas sayuran turun dari pasar induk pukul 02.00-03.00 dini hari suka lihat bayang-bayang sekelebat. “Bolak-balik saya merinding juga, tapi ya saya cuek saja karena kan saya cari makan buat anak-anak saya,” kenang Saripah.
Saripah yang dibantu suaminya berjualan, tak menghiraukan suara-suara atau bayangan-bayangan yang menghantui di sekitar kios sayurannya.
“Iya Bismilah aja, kita berdoa, kita kan nggak ganggu mereka, lagian kan pak itu orang baik semasa hidup, nggak mungkin ganggu kita,” ucap Saripah.
KULIAHKAN ANAK
Diakui Saripah pasar tersebut terbilang cukup tua dan rapuh dan belum ada rencana renovasi dari Pemda DKI Jakarta. “Di sini jual macam-macam, ada sayuran, daging, sembako, alat kebutuhan rumah tangga dan lain-lain,” ungkapnya.
Selama pandemi virus corona, ia mengaku penghasilan menurun drastis. Karenanya, ia berharap wabah penyakit ini segera berakhir dan kehidupan kembali normal,” ucapnya.
Baca juga: Pasar Rumput, Jaman Dulu Banyak Transportasi Kuda
Dari hasil berjualan sayur-sayuran Saripah dan suaminya berhasil menguliahkan kedua anaknya di universitas swasta ternama di Jakarta dan Bandung.
Pasar Pecah Kulit mulai beraktivitas dari jam 02.00 WIB hingga 24.00 WIB. “Sekarang saya jualan dari jam 03.00 WIB sampe sore saja karena sepi dan kalau malam sudah nggak berani juga apalagi dah jarang pembeli,” tandasnya. (mia/bi/ird/ys)