Kelangkaan pengetahuan sejarah di kalangan generasi muda kita dengan mudah bisa kita deteksi jika bertanya kepada mereka. Misalnya banyak dari generasi muda itu tidak tahu siapa Ken Arok, Ken Dedes, Tunggul Ametung.
Mereka tidak pernah mendengar nama raja-raja Mataram seperti Sultan Agung, Amangkurat dll. Mereka juga tidak tahu bahwa pernah ada berbagai pemberontakan di Indonesia termasuk Kudeta 1965.
Kelangkaan pengetahuan sejarah itu akan sangat merugikan perkembangan bangsa kita. Sebab mereka secara perlahan akan kehilangan jati dirinya sebagai bangsa Indonesia karena kehilangan kebanggaan sebagai pewaris bangsa yang pernah besar di masa lalu.
Bagaimanapun sejarah kebesaran Majapahit dan Sriwijaya, misalnya, adalah bahan pembangkit nasionalisme bagi generasi muda kita.
Lain dari itu kunjungan ke museum pasti akan membangkitkan kecintaan generasi penerus terhadap karya-karya susastra dan buku-buku lama.
Pelajaran sejarah, dengan demikian, akan makin diminati begitu juga minat membaca. Kita tahu bahwa dalam soal membaca buku, bangsa kita boleh dikata sangat tidak menyukai.
Jika di Jepang dan di berbagai kota besar dunia lainnya, kita selalu menyaksikan warga dan anak-anak muda asyik membaca buku di kereta api atau bus kota, sebaliknya di negara kita yang banyak kita saksikan adalah orang yang sedang tidur di kereta dan bus kota.
Dengan demikian keheranan pemandu wisata di Beijing tadi bisa terjawab mengapa lebih banyak wisatawan kita langsung ke mal jika sedang berwisata, bukan ke museum.
Soalnya program pendidikan kita memang tidak diarahkan untuk mencintai sejarah tapi diarahkan untuk hidup konsumtif. Dengan demikian pertanyaannya adalah apakah pelajaran sejarah masih akan tetap dihapus dari kurikulum atau diajarkan lagi secara serius?
Dalam pandangan saya, pahit manis peristiwa sejarah semuanya tetap harus diajarkan agar generasi muda kita bisa memetik pelajaran berharga dari pengalaman nenek moyang mereka.
(Prof DR Amir Santoso, Gurubesar FISIP UI; Rektor Universitas Jayabaya, Jakarta)