JAKARTA – Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Andono Warih mengatakan, Pemprov DKI Jakarta belum memberikan sanksi denda kepada pengelola perbelanjaan yang membiarkan pedagang atau tenant-nya memakai kantong plastik.
Seperti diketahui, larangan penggunaan kantong plastik pada pusat perbelanjaan telah di mulai sejak 1 Juli lalu. Hal ini mengacu pada Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 142 tahun 2019 tentang Kewajiban Penggunaan Kantong Belanja Ramah Lingkungan (KBRL) pada Pusat Perbelanjaan, Toko Swalayan dan Pasar Rakyat.
“Belum ada (sanksi) sekarang masih pembinaan dulu,” kata Andono pada Jumat (10/7/2020).
Andono mengatakan, petugas akan memberikan waktu selama sebulan kepada pedagang atau pengelola yang kedapatan menyediakan kantong plastik agar menggantinya dengan KBRL. Bila di periode bulan berikutnya masih ada pelanggaran di lokasi yang sama, petugas akan memberikan sanksi administrasi secara bertahap.
“Jadi ada pengawasan aktif rutin melalui inspeksi mendadak (sidak) dan ada pengawasan pasif (pengelola melampirkan evidence atau bukti bahwa mereka telah taat),” ujar Andono.
Menurut dia, petugas terus melakukan pengawasan di sejumlah pasar dan pusat perbelanjaan di 2.194 lokasi yang tersebar di lima wilayah daratan kota Jakarta secara bertahap. Namun pada tanggal 1-2 Juli lalu, pihaknya telah melakukan sidak di 1.638 tempat.
Rinciannya untuk Jakarta Utara ada 248 toko swalayan, Jakarta Pusat ada 252 pasar rakyat dan toko swalayan, Jakarta Timur ada 730 minimarket dan 33 pasar rakyat, kemudian Jakarta Selatan ada 25 pasar rakyat dan 350 pasar swalayan.
“Pengecekan secara berkala dilakukan oleh masing-masing Sudin LH yang ada di wilayah kota administrasi,” katanya.
Untuk diketahui, berdasarkan Pergub DKI Jakarta Nomor 142 tahun 2019, pusat atau pengelola tempat belanja yang menyediakan plastik sekali pakai akan dikenakan denda Rp 25 juta. Bahkan sanksi terberatnya berupa pencabutan izin operasi usaha.
Sanksi itu diatur dalam Bab VII, Pasal 22 sampai Pasal 29. Sebelum dikenakan denda, pelanggar lebih dulu diberikan teguran tertulis secara bertahap sebanyak tiga kali.
Pertama selama 14x24 jam, lalu bila diacuhkan akan dilayangkan surat tertulis kedua selama 7x24 jam. Bahkan bila tetap diacuhkan, mereka akan mendapat surat tertulis kembali yang berlaku selama 3x24 jam.
Bila mereka mengacuhkan surat teguran tertulis ketiga, pemerintah akan memberlakukan sanksi denda atau penarikan uang secara paksa. Hal ini mengacu pada Pasal 24.
Pengelola yang mengabaikan teguran tertulis ketiga akan dikenai sanksi uang paksa atau denda minimal Rp 5 juta dan maksimal Rp 25 juta. Uang paksa Rp 5 juta wajib dibayar dalam waktu satu pekan sejak pengelola menerima surat pemberitahuan pengenaan sanksi administratif uang paksa.
Tidak hanya surat teguran yang diberikan sebanyak tiga kali, namun nilai dendanya juga bakal terakumulasi bila tetap diacuhkan. Bagi pengelola yang terlambat membayar uang paksa lebih dari tujuh hari, akan dikenai uang paksa Rp 10 juta.
Kemudian yang terlambat pada 14 hari dikenakan denda Rp 15 juta dan denda Rp 20 juta bagi yang telat membayar selama 21 hari, serta denda Rp 25 juta bila terlambat membayar denda lebih 30 hari.
Bila mereka tetap menolak membayar dendanya, pemerintah akan membekukan hingga mencabut izin operasional mereka. Hal ini sesuai dengan Pasal 27 dan Pasal 28 dalam Pergub tersebut.
Pembekuan izin diberikan oleh Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) DKI Jakarta berdasarkan rekomendasi dari Dinas Lingkungan Hidup. Meski telah mendapatkan sanksi pembekuan izin, namun mereka tidak membayar uang paksa, pemerintah akan mencabut izinnya. (yono/tri)