Bunglon

Minggu 21 Jun 2020, 06:30 WIB
Prof Dr. Amir Santoso. Guru besar UI, rektor Universitas Jayabaya.

Prof Dr. Amir Santoso. Guru besar UI, rektor Universitas Jayabaya.

SEJAK dulu memang sudah banyak bunglon. Tapi bunglon dulu masih lebih banyak yang berdiam di pohon. Tapi belakangan ini makin banyak bunglon pindah tempat ke rumah-rumah mewah dan ternyata bunglon itu juga punya kantor yang bagus dan lengkap fasilitasnya.

Bunglon jaman dulu hanya punya empat kaki untuk dipakai pindah dari satu pohon ke pohon yang lain. Tapi bunglon jaman sekarang berkaki dua dan sudah pakai mobil mewah serta sopir. Tentu saja sifatnya tetap sama yaitu suka berubah warna makanya disebut bunglon.

Mungkin generasi milenial hanya pernah dengar nama bunglon tapi belum pernah melihat binatang tersebut. Benar, bunglon itu nama binatang mirip tokek tapi tinggal di pohon. Untuk menyelamatkan diri dari ancaman musuhnya,

Tuhan memberinya kemampuan untuk berubah warna dan dengan demikian musuhnya bisa dikelabui. Kalau berada di lingkungan yang hijau, warnanya berubah hijau. Jika di sekitarnya banyak pohon berdaun merah, badannya berubah merah dst.

Sifat suka berganti warna itulah yang disebut bunglon. Sifat ini lalu dianalogikan dengan orang yang suka berubah pendirian disesuaikan dengan lingkungannya terutama dalam politik.

 Misalnya di masa Orba, mereka puja puji Orba. Di masa Reformasi, mereka puji penguasa reformasi dan maki-maki Orba.

Publik pasti bingung melihat orang seperti itu. Apalagi jika orang itu pemimpin partai. Sebab ideologi dan prinsip partainya menjadi tidak jelas. Saat pemilu kita tertarik mendukung partainya karena kesamaan prinsip, ideologi dan tujuan politiknya dengan kita.

Tapi usai pemilu, tiba-tiba pendirian politik partai itu dan tokohnya berubah. Ketika kampanye pemilu, partai itu tampak hendak menjadi oposisi, tapi usai pemilu mereka berubah menjadi partai pendukung pemerintah. Bingung kan? Tidak hanya bingung tapi bikin kita jengkel.

Apakah mereka tidak merasa bersalah? Tentu tidak. Sebab para bunglon itu hanya memikirkan kepentingan pribadinya. Mereka tidak peduli terhadap martabat, harga diri dan kehormatannya.

 Bahkan, para bunglon itu tidak peduli akan kenyataan bahwa kekuasaan itu hanya berdurasi lima dan paling lama sepuluh tahun. Sebab jika kekuasaan berganti, mereka juga sudah siap ganti warna lagi. Namanya juga bunglon.

Bunglon itu merusak politik yang sehat dan merusak demokrasi. Sebab mereka mengajari publik untuk bermuka seribu. Merusak demokrasi karena demokrasi membutuhkan adanya oposisi dalam rangka pengawasan dan ke seimbangan (check and balance).

Tanpa oposisi maka pemerintah akan berjalan sendiri dan jika tidak hati-hati, pemerintah bisa menjadi diktator sebab tidak ada pengawasan dari rakyat melalui wakil rakyat.

Manusia bunglon ada dimana-mana di seluruh dunia. Sebab pada dasarnya watak manusia kan ingin selamat dan hidup enak. Tapi kita bisa melihat bahwa biasanya makin tinggi tingkat kesejahteraan, jumlah bunglonnya berkurang dan sebaliknya.

Juga, makin luas kebebasan berpendapat dan makin aman untuk berbeda pendapat, biasanya makin sedikit jumlah bunglonnya.

Menghabisi seluruh bunglon tidaklah mungkin, namun menguranginya bisa. Untuk mengurangi jumlah bunglon itu, pertama harus ada upaya untuk meningkatkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Kedua, perlu upaya untuk memberikan kebebasan yang cukup terhadap berbagai pihak untuk mengajukan pendapat secara lebih bebas tanpa takut ditangkap.

Ketiga, semua lembaga pendidikan terutama di tingkat dasar dan menengah perlu digesa untuk memfokuskan diri pada pendidikan moral dan etika dengan tekanan pada keteguhan prinsip, keteguhan pendirian, pentingnya menjaga harga diri, kehormatan dan martabat diri serta keluarga.

Kita hanya bisa berharap bahwa dengan tiga upaya tersebut mudah-mudahan jumlah bunglon bisa berkurang. Tentu Jangan berharap agar mereka bisa habis samasekali. Ini tidak mungkin, namanya juga manusia dengan semua sikap baik dan buruknya .

(Prof Dr Amir Santoso, Gurubesar FISIP UI; Rektor Universitas Jayabaya, Jakarta). 

News Update