Saling Memaafkan

Kamis 28 Mei 2020, 06:45 WIB
Ilustrasi kopi pagi. (ist)

Ilustrasi kopi pagi. (ist)

Oleh Harmoko

ADA pitutur luhur mengajarkan agar kita tidak pelit memberi maaf. Bahkan, akan lebih baik jika terlebih dahulu memberi "maaf" sebelum orang lain meminta maaf. Begitu pun kita segera meminta maaf sebelum orang lain menyuruhnya untuk meminta maaf.

Mengapa? Dalam kehidupan bermasyarakat, saling memaafkan adalah awal dari adanya sifat kekeluargaan sebagaimana cerminan butir - butir falsafah bangsa kita. Ajakan untuk membangun kerekatan sosial.

Bukan sebaliknya mencari - cari kesalahan orang yang dapat memicu perselisihan. Lebih - lebih di era kehidupan sekarang ini, dalam suasana Lebaran di tengah pandemi Covid-19.
Saling memaafkan adalah ajaran kebajikan, sementara saling menyalahkan dan mencoba mencari - cari kesalahan hanya akan menggali lubang dendam dan permusuhan.

Sejatinya segala persoalan bisa diawali penyelesaiannya dengan kata maaf dan saling memaafkan. Mulai dari lingkup terkecil di lingkungan keluarga, RT /RW,  kelurahan, kantor pemda hingga istana.

Hanya saja, kata maaf bukan sebatas ucapan lisan atau tulisan, tetapi hendaknya mencerminkan sikap dan perilaku rendah hati dan kebesaran jiwa. Di dalamnya terdapat ketulusan dan keikhlasan.

Mahatma Gandhi mengatakan:  Mereka yang berjiwa lemah tak akan mampu memberi maaf yang tulus. Pemaaf sejati hanya melekat bagi mereka yang berjiwa tangguh.

Dalam filosofi Jawa dikenal istilah "Jembar segarane". Artinya jadilah manusia yang berjiwa besar dan bisa memaafkan kesalahan setiap orang. Dengan memaafkan kesalahan orang lain berarti kita telah memaafkan diri sendiri.

Kita sadar, setiap manusia tak lepas dari kekeliruan dan kesalahan. Pepatah mengatakan "Tak ada gading yang tak retak". Tidak ada sesuatu yang tidak ada cacatnya.

Semua pasti ada ‘cacat’ dan kekurangannya. Meminta maaf dalam setiap kesempatan adalah bentuk kesadaran atas kekurangan tersebut.

Yang perlu diaplikasikan kemudian adalah di balik kata maaf sesungguhnya terdapat janji untuk tidak mengulangi kesalahan, apalagi kesalahan yang sama.

Berbuat kesalahan adalah kekurangan manusia, namun belajar dari kesalahan adalah kelebihan manusia.

Karenanya tidak perlu malu berbuat kesalahan, selama ia menjadi lebih bijaksana dari sebelumnya. Lebih baik dari sebelumnya.

Kesalahan bukanlah sebuah aib yang tak ada gunanya, justru kesalahan diri sendiri menjadikan seseorang sebagai pribadi yang lebih baik lagi dari sebelumnya.

Yang terpenting adalah setelah berbuat salah segera meminta maaf dan segera memperbaikinya melalui aksi nyata, bukan sebatas kata, tulisan atau ungkapan yang penuh retorika.

Aksi nyata sebagai bukti keikhlasan jiwa, ketimbang komentar yang tak diikuti dengan perbuatan seperti sering dikatakan dengan istilah " perbuatan tidak sesuai dengan ucapan" atau "ucapan tidak sepadan dengan perbuatan".

Kita berharap para elit politik dan  pejabat negeri, para pimpinan di tingkatan manapun meneladani aktivitas nyata untuk meminta maaf, jika keliru berkomentar atau pun tidak tepat mengambil kebijakan.

Sebaliknya memberi maaf sebelum orang yang salah meminta maaf. Sebab, tak selamanya orang berbuat salah. Jangan pula karena satu kesalahan menghapus seribu  samudera kebaikan yang pernah orang lain lakukan.

Kebaikan tetap kebaikan. Agama apa  pun mengajarkan siapa yang memperoleh kebaikan dari orang lain, hendaknya dia membalasnya. Jika tidak menemukan sesuatu untuk membalasnya, hendaklah dia memuji orang tersebut. Jika tidak ada waktu memujinya, setidaknya mendoakan kebaikannya.

Lupakan kesalahannya, kenang kebaikannyabepanjang masa, sekecil apa pun kebaikan yang telah dilakukan.

Mari kita saling memaafkan.

Pepatah mengatakan " Hanya mereka yang kuat yang mampu mengucapkan kata maaf, namun bagi mereka yang mampu memaafkan adalah orang yang lebih kuat."(*).

News Update