Oleh Harmoko
"KERENDAHAN seseorang diketahui melalui dua hal: banyak berbicara tentang hal-hal yang tidak berguna, dan bercerita padahal tidak ditanya." Ini kata Plato, filsuf Yunani.
Jika kita resapi, pepatah ini mengajarkan kepada kita untuk tidak membuang waktu percuma hanya dengan membahas hal-hal yang tak berguna. Apalagi banyak bicara dan bercerita tentang hal dirinya, padahal tak ada yang berkehendak.
Yang dibutuhkan sekarang adalah karya nyata dan keteladanan dalam membangun bangsa dan negara. Beragam problema menyangkut kehidupan sosial kemasyarakatan ada di sekitar kita.
Dampak sosial ekonomi akibat pandemi Covid-19 sudah kita rasakan, utamanya mereka pekerja pabrik dan serabutan.
Kita belum tahu pasti kapan pandemi berakhir. Kita, para ahli tentu bisa memprediksi, tetapi mengantisipasi, mencegah, mengatasi dan mengobati tak harus terhenti karena prediksi.
Sebut saja, jika pandemi menuju puncak, tak berarti kita kalut dan takut. Begitu pun ketika pandemi menurun, tak harus lengah, apalagi santai, anak muda bilang " santuy".
Sejarah mencatat bangsa kita adalah bangsa yang kuat dan hebat.
Negeri kita memiliki sumber daya yang luar biasa, baik alam maupun manusianya. Lebih-lebih generasi mudanya telah membuktikan diri, terukir dalam tinta emas sejarah perjuangan bangsa.
Jauh sebelum era kemerdekaan kita kenal Dr Wahidin Soedirohoesodo yang membentuk perkumpulan Budi Utomo, 20 Mei 1908.
Sejarah mencatat, organisasi ini lahir karena didorong oleh rasa cintanya terhadap masyarakat Indonesia yang menderita ( saat itu), membuatnya bangkit melakukan sesuatu untuk masyarakat dan bangsa ini.
Di antaranya dengan membentuk perkumpulan untuk anak-anak yang tidak bersekolah tetapi memiliki kepandaian, karena sadar bahwa pendidikan itu penting bagi kemajuan Indonesia. Yang kemudian kita kenal dengan kebangkitan nasional.
Kita bisa katakan dalam kebangkitan nasional ada unsur rasa cinta kepada masyarakat, ada kepedulian terhadap rakyat yang menderita.
Ada rasa nasionalisme tinggi untuk menyatukan semangat persatuan dan kesatuan bangsa (saat itu tentu untuk mewujudkan kemerdekaan bangsa).
Era sekarang tentu menjadi kewajiban kita mengisi kemerdekaan. Era kini bukan berarti tidak perlu lagi kebangkitan nasional.
Yang dibutuhkan sekarang adalah kebangkitan nasional dalam wujud memperbanyak karya nyata untuk bangsa dan negara.
Bangkitnya keteladanan para pejabat dan birokrat untuk memajukan negeri. Menyelesaikan beragam problema negara dan bangsa, bukan larut dalam wacana dan retorika, apalagi sampai beradu argumentasi terkait beda penafsiran soal kebijakan yang bukan menjadi tuntunan, tetapi boleh jadi menjadi tontonan.
Sebut saja era kini, perlu kebangkitan keteladanan nasional untuk membangkitkan semangat pembangunan termasuk juga pembangunan kesejahteraan sosial.
Bangkitnya semangat memperjuangkan kesejahteraan sosial bagi kelompok penyandang masalah sosial.
Bangkitnya semangat berbagi kepada mereka yang terdampak Covid - 19, seperti korban PHK, tidak bisa mencari nafkah karena terdampak pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang masih diperpanjang pada sejumlah daerah.
Kita patut bersyukur munculnya kelompok masyarakat yang sangat peduli dan bergerak cepat melawan virus Corona.
Melalui aksi nyata membagi sembako, alat kesehatan kepada warga masyarakat yang benar-benar sangat membutuhkan bantuan.
Mereka berbagi tanpa pamrih, tanpa berharap imbalan, balas jasa atau pengakuan. Hanya ingin menunjukkan bagaimana jiwa dan moral Pancasilais sejati.
Aksi nyata seperti ini sejatinya harus dikembangkan melalui edukasi sejak dini.
Edukasi paling efektif melalui keteladan seorang pemimpin di segala tingkatan. Mengapa? Karena generasi milenial lebih membutuhkan model. Membutuhkan pemimpin yang bisa berperan sebagai mentor, bukan bos. Jadi bukan status kepemimpinannya, tetapi aksi nyata seorang pemimpin dalam memberi teladan.
Mari kita bangkitkan semangat diri kita. Bangkit dari keterpurukan, bangkit dari ketertinggalan, dan bangkit dari ketidakadilan melalui aksi nyata dari kita untuk kita. (*).