JAKARTA – Perbudakan atau kekerasan terhadap ABK Indonesia yang bekerja di kapal ikan berbendera China harus diusut secara tuntas disertai sanksi hukum yang tegas, agar kasus seperti ini tidak terulang kembali, kata Ketua ITF (International Transportworkers’ Federation) Indonesia, Prof. Dr. Mathias Tambing, di Jakarta, Selasa (12/5/2020),
Pasalnya, lanjut Mathias, kasus tersebut termasuk pelanggaran hukum dan HAM, apalagi sampai menyebabkan tiga orang meninggal dan jenazahnya dibuang ke laut.
“Pemerintah RI harus segera melayangkan protes keras kepada pemerintah China dan melakukan tuntutan hukum terhadap perusahaan yang mengoperasikan kapal ikan tersebut,” tegasnya, terkait kasus perbudakan di kapal ikan China yang menimpa ABK Indonesia.
ITF adalah organisasi internasional yang berpusat di Inggris dan merupakan afiliasi dari beberapa serikat pekerja (SP) sektor transportasi. Seperti SP Pelaut, SP Kereta-api, SP Penerbangan, SP Pelabuhan dan SP Buruh Pelabuhan.
Seperti viral diberitakan, sejumlah ABK Indonesia yang bekerja di kapal ikan ‘Long Xin 629’ berbendera China mengalami perbudakan di tempat kerja.
“Mereka dipaksa kerja 18 jam sehari dengan upah hanya 120 dolar AS atau Rp1,8 juta/bulan. Mereka juga dipaksa minum air laut, bukan air mineral. Akibatnya, beberapa ABK jatuh sakit dan tiga orang meninggal dunia di kapal,” ungkapnya.
Menurut Prof. Mathias Tambing, kasus perbudakan ABK Indonesia di kapal ikan sudah sering terjadi, tapi pemerintah RI terkadang sulit menyelesaikan karena tidak lengkapnya data pelaut dan sering pindah tanpa prosedur jelas, sehingga KBRI sulit melacak perusahaan tempat abk bekerja dan agen yang mengirimnya.
Perbudakan umumnya terjadi di kapal perusahaan milik China dan Taiwan. Selain di perairan Asia, kapal-kapal ikan itu juga beroperasi sampai Samudera Pasifik, Samudera Hindia dan Lautan Atlantik.
“Perbudakan sering terjadi karena pengusaha/nakhoda kapal memanfaatkan kelemahan ABK yang tidak memiliki dokumen perlindungan. Berdasarkan ketentuan internasional, pengusaha kapal harusnya memberikan dokumen perlindungan berstandar ILO (International Labour Organization) kepada semua ABK,” jelasnya.
Dokumen perlindungan, lanjut Mathias, antara lain berisi tentang hak dan kewajiban ABK, kondisi kerja dan keselamatan kerja di kapal, upah dan kesejahteraan pelaut lainnya. Semuanya tercantum dalam PKL (Perjanjian Kerja Laut) maupun CBA (Collective Bargaining Agreement) yang ditandatangani oleh pengusaha kapal dan ABK.
“Semua ABK wajib memiliki PKL sebagai pedoman kerja, sekaligus solusi jika terjadi masalah terkait pekerjaan di kapal. Tapi banyak pelaut yang tidak punya PKL danpaham hal ini serta dianggap sepele,” kata Mathias.
Investigasi Menyeluruh
Untuk mengungkap perbudakan modern ini, kata Mathias Tambing yang juga Presiden Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI), perlu dilakukan investigasi secara menyeluruh.
Mulai dari proses perekrutan ABK, sistem perlindungan, PKL, syarat dan kondisi kerja di kapal maupun kesejahteraannya.
Ia mendukung Bareskrim Polri yang telah mulai melakukan investigasi untuk mengungkap kemungkinan terjadinya tindak pidana dalam kasus perbudakan ABK dan banyak menimpa pelaut Indonesia.
Pelaut Indonesia sering menerima upah di bawah standar internasional bahkan upah/lembur tidak dibayar sampai berbulan-bulan.
“Di kapal ikan biasanya ada bonus atas banyaknya ikan yang ditangkap, tapi bonus itu sering tidak diberikan. Hal ini yang menimpa ABK Indonesia di kapal ikan Long Xin 629 ini,” pungkasnya. (tri)