Kuncinya terletak kepada diri kita masing–masing. Beranikah mengatakan kebenaran yang sesungguhnya meski terasa pahit untuk mengatakannya, maukah menguak kesalahan meski risiko buruk bakal dihadapi.
Para leluhur kita sering berpesan "Lakukan apa yang menurut hati nurani anda benar meskipun anda menghadapi kritikan. Anda dicela apabila mengerjakan, tetapi tetap dicela juga sekiranya anda tidak lakukan."
Sering terjadi kita tahu persis fakta yang sesungguhnya sebagai kebenaran, tetapi karena satu dan lain hal, kita tak mau mengatakannya. Begitu juga kita tahu kesalahan yang dilakukan orang lain, tapi karena satu dan lain hal, mencoba menutupi. Tahu apa yang terjadi, tetapi karena berbagai pertimbangan, pura–pura tidak tahu apa yang terjadi.
Ini manusiawi, tetapi demi kepentingan yang lebih besar, haruskah menutupi.
Tak ada seorang pun berkehendak yang benar menjadi salah, yang salah menjadi benar. Kita semua tentu tak ingin kebenaran palsu atau kesalahan palsu yang pada akhirnya akan merusak tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Yang pada gilirannya akan semakin menjauhkan dari keadilan yang sesungguhnya karena terselimuti kebenaran palsu.
Mari kita tegakkan kebenaran dan keadilan, setidaknya bagi diri sendiri. Para filsuf berpesan "Berani menegakkan keadilan walaupun mengenai diri sendiri adalah puncak dari keberanian." (*).