Melihat Omnibus Law Dari Sudut Pandang Akademisi

Jumat 27 Mar 2020, 11:00 WIB
Dekan Fakultas Hukum Universita Pakuan Raden Muhammad Mirahdi

Dekan Fakultas Hukum Universita Pakuan Raden Muhammad Mirahdi

Hal ini dikuatkan dengan keluhan BKPM bahwa ada kepala daerah yang tidak mengikuti instruksi Presiden tentang investasi. 

"Permasalahan utama adalah ada konfigurasi politik yang berbeda antara pusat daerah, sehingga perintah presiden bisa diterjemahkan berbeda. Dengan demikian, Presiden Joko Widodo mencoba untuk menarik perijinan yang diatur pemerintah daerah, ditarik menjadi wewenang pemerintah pusat," katanya.

Semangat reformasi, lanjutnya, adalah desentralisasi kekuasaan, dimana kewenangan dibagi antara pusat dan daerah. Jika peraturan perijinan daerah ditarik ke ranah pemerintah pusat, maka akan timbul perdebatan tentang sistem desentralisasi yang menjadi ruh dari refromasi. 

Masukan kalangan akademisi kepada pemerintah adalah, dalam melakukan sosialisasi omnibus law, pemerintah seharusnya melakukan secara bertahap.

Pertama yaitu memberikan paradigma ke masyarakat bahwa omnibus law akan berkomitmen pada demokrasi. Kedua, pemerintah pusat akan membuat komitmen pada pemerintah daerah, dan ketiga, pemerintah pusat dan daerah akan menjalankan komitmen pada penegakan hukum. Selanjutnya, bisa teruskan pada perumusan pasal yang dilakukan secara tehnis. 

Omnibus law didominasi oleh pasal yang mengatur pada perijinan. Ada dilema dimana Pilkada yang tidak sehat, maka perijinan dijadikan sarana menunjang pemenangan, meski tidak selalu. 

Solusi utama masalah tersebut tidak berarti harus mencabut seluruh kewenangan perijinan yang dikelola pemerintah daerah kepada pemerintah pusat. 

Sesuai dengan semangat akademis, permasalahan tersebut sebaiknya diselesaikan dengan mengedepankan demokrasi ekonomi yang berjalan sehat, yang linear dengan penegakan hukum terhadap perijinan yang tidak benar, dan terhadap oknum-oknum yang bermain dalam perijinan.(tri)

News Update