Oleh Harmoko
ADA pepatah mengatakan "Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung". Maknanya kita wajib menghargai adat istiadat, tradisi dan budaya di mana kita bertempat tinggal (berada).
Begitu pula ketika berkunjung ke suatu daerah, apakah sebagai tamu, berhubungan dengan pekerjaan apa pun profesinya, haruslah menghargai, mematuhi norma - norma yang berlaku di daerah itu.
Mematuhi norma daerah setempat bagian dari kita menghargai adanya keberagaman sebagaimana terukir dalam butir - butir falsafah bangsa Indonesia.
Dalam peribahasa Jawa dikenal juga "Deso mowo coro, negoro mowo toto” - yang artinya “Desa memiliki adat, negara memiliki aturan ”. Makna lebih luas lagi, desa memiliki tradisi budayanya masing-masing, memiliki kondisi budaya yang terbangun sejak dulu, secara turun temurun.
Tradisi atau pun budaya itu telah menjadi aturan yang wajib dipatuhi oleh masyarakat setempat. Para pelanggar akan mendapat sanksi sosial yang telah menjadi kesepakatan bersama.
Lazimnya warga tidak berani melanggar karena sanksinya dinilai berat, ada rasa malu dan dapat juga terisolir dalam pergaulan.
Meski begitu, daerah sebagai bagian dari tanah air Indonesia akan tetap mematuhi aturan yang lebih tinggi lagi, yakni aturan negara.
Ini menunjukkan bahwa kepatuhan dan taat norma menjadi satu syarat ketenteraman sebuah daerah/ wilayah. Yang tidak kalah pentingnya dengan bersikap menghargai kepentingan yang lebih luas lagi akan mendorong terwujudnya negara yang tenteram dan damai.
Menghargai norma sosial di mana kita tinggal menjadi bagian dari upaya membangun karakter bangsa. Cikal bakal karakter positif seperti saling menghargai, tidak mengusik kehidupan kelompok lain, sebenarnya sudah lama ada. Bahkan telah diterapkan para leluhur kita dengan penuh kesadaran. Tidak heran, jika banyak tatanan hukum negeri kita bersumber dari adat istiadat dan budaya bangsa karena telah teruji manfaatnya.
Menghargai adat dan budaya setempat, sering disebut "kearifan lokal", tidak hanya berlaku di negeri kita.
Di negara lain, sebut saja Roma misalnya, juga mengajarkan soal penghargaan terhadap budaya setempat seperti peribasa yang berbunyi "When in Rome, do as the Romans do." Secara literal berarti ketika berada di Roma, maka kerjakan/lakukan apa yang orang Roma lakukan/kerjakan.
Tetapi karena kalimat ini "saying" peribahasa, maka maknanya seirama dengan " Deso mowo coro, negoro mowo toto".
Yang hendak saya sampaikan adalah menghargai, memupuk kearifan lokal adalah kewajiban bagi semua anak bangsa.
Sebab, kearifan lokal adalah potensi negeri. Kearifan lokal merupakan modal pembentukan karakter luhur. Sementara kita dapat pahami bahwa bangsa akan besar atau menjadi besar, jika memiliki karakter kuat yang bersumber dari budaya luhur, nilai - nilai yang digali dari budaya masyarakatnya, bukan menjiplak budaya asing.
Dengan kearifan lokal akan terbangun suatu budaya bangsa yang memiliki akar, dan terdapat pula pondasi kuat dan abadi.
Inilah yang perlu kita jaga melalui kesadaran diri, purba diri dan pengendalian diri.
Pola yang dilakukan hendaknya tiada henti mengedukasi dari lingkup terkecil, di lingkungan keluarga, masyarakat hingga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ini tugas kita semua. Setiap orang bertanggung jawab kepada dirinya, keluarganya, jika memungkinkan kepada lingkungan sekitar.
Pemerintah bertanggung jawab atas terwujudnya pembetukan karakter luhur yang bersumber dari kearifan lokal.
Edukasi bisa dilakukan secara legal formal melalui kurikulum pendidikan karakter bangsa.
Ini menjadi penting mengingat salah satu fungsi pendidikan adalah
membangun peradaban bangsa yang cerdas, berbudaya luhur, dan mampu berkontribusi terhadap pengembangan kehidupan umat manusia; mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik serta keteladanan baik.
Perilaku baik yang perlu diedukasi, di antaranya menanamlan karakter luhur seperti religius, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, komunikatif, proaktif, dan kolaboratif.
Tak kalah pentingnya cinta tanah air, cinta damai, peduli sosial dan peduli lingkungan serta demokratis, yaitu sikap dan cara berpikir yang mencerminkan persamaan hak dan kewajiban secara adil dan merata antara dirinya dengan orang lain, sebagaimana tercermin dalam pasal 28 UUD 1945 tentang hak hal asasi.
Mari kita berkarakter luhur, mulai dari diri kita sendiri. (*)