Pembelajaran Humaniora Jadi Garda Terdepan Pembentukan Karakter Bangsa

Senin 27 Sep 2021, 22:24 WIB
Dr. Lamto Widodo, ST, MT. (dokumen pribadi)

Dr. Lamto Widodo, ST, MT. (dokumen pribadi)

Oleh : Dr. Lamto Widodo, ST, MT

SAAT ini, publik atau jagat maya sering dikejutkan dengan perilaku anggota masyarakat yang dengan ringan mempertontonkan adegan tidak senonoh secara live di sebuah media sosial, hanya untuk mencari sensasi dan meraup untung dari banyaknya jumlah follower yang subscribed.

Belum lagi beberapa perilaku oknum pengendara mobil beberapa waktu lalu ketika diberhentikan petugas di jalan untuk diperiksa kelengkapan persayaratan di masa PPKM, kemudian dengan ringan mencaci maki petugas dengan kata-kata kotor yang sama sekali tidak mencerminkan nilai kesantunan dan kearifan lokal sebagai bangsa Indonesia yang berbudi pekerti luhur.

Berbagai perilaku ini bukan hanya dilakukan oleh masyarakat yang berpendidikan rendah, namun juga oleh mereka yang telah mengenyam pendidikan tinggi.

Tentu saja perilaku ini membuat kita miris, seolah tidak ada lagi bekas-bekas hasil didik dari bangku sekolah, bahkan juga tidak terlihat napak tilas perilaku para pendahulu yang memperjuangkan negeri merdeka ini dengan darah dan air mata.

Tujuan membentuk masyarakat yang adil dan beradab seolah menjadi nilai fatamorgana dan bahkan menjadi cerita masa lalu yang dianggap mutakhir.

Tata nilai anak bangsa tidak lagi mencerminkan perilaku bangsa berbudaya dengan berbagai kesantuan, akhlak sosial, norma adat, serta norma moralitas keagamaan.

Hal ini boleh jadi dipicu oleh derasnya arus globalisasi, dimana mempengaruhi sikap sosial masyarakat baik secara positif maupun negatif.

Aspek positifnya adalah globalisasi dapat merubah pola pikir masyarakat yang irasional menjadi rasional sehingga dapat menyelesaikan masalah dengan mudah dan menjadikan hubungan antar satu individu dengan yang lainnya menjadi akrab.

Sedangkan aspek negatifnya adalah semakin pudarnya budaya asli Indonesia, akibatnya anak remaja lebih menyukai budaya luar yang mungkin dinilai lebih modern dibanding dengan budaya dan kearifan lokal negeri sendiri.

Budi pekerti luhur, tutur kata santun, saling menghargai perbedaan, saling tolong menolong, dan saling asih telah menjadi cerita masa lalu yang banyak ditinggalkan.

Berita Terkait
News Update