ADVERTISEMENT

Aliansi BEM Nasionalis Menggelar Simposium Kebangsaan

Minggu, 2 Juni 2019 10:24 WIB

Share
Aliansi BEM Nasionalis Menggelar Simposium Kebangsaan

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

JAKARTA –  Aliansi BEM Nasionalis menggelar acara Simposium Kebangsaan dalam Rangka Memperingati Hari Lahirnya Pancasila. Acara tersebut digelar di Hotel Sofyan, Jakarta Selatan, Sabtu (1/6/2019) dengan mengangkat tema 'Implementasi Pancasila Sebagai Alat Pemersatu Bangsa'. Hadir dalam acara tersebut Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Hamdan Zoelva,  KH. Masduki Baidlowi, Ketua Komunikasi dan Informasi MUI Pusat, Adi Prayitno, Pengamat Politik UIN Jakarta dan Ketua Umum IMM, Najih Prasetyo. Hamdan Zoelva mengatakan, makna dasar dari Pancasila yang ditetapkan pada 1 Juni bermula dari pidato Presiden Soekarno yang terkait langsung dengan 5 sila yang terdapat di dalam Pancasila. Menurut Hamdan, Soekarno sebagai sosok yang begitu benci dengan penjajahan dan kapitalisme, telah membagi tiga jenis kapitalisme, yakni Kapitalisme Belanda, Portugis dan Inggris. Selain itu ia juga mengungkapkan di momentum hari Pancasila agar semua elemen anak bangsa bersatu kembali, kita boleh berbeda dalam kebhinekaan namun kita tidak boleh bercerai berai. "Bahwa kita boleh berbeda-beda dalam memahami ketuhanan yang maha esa. Kita boleh berbeda-heda saat berjuang membela bangsa Indonesia, berbeda bahasa, namun kita bersatu dalam Indonesia," kata  Hamdan zoelva. Sementara, itu, Masduki Baidlowi, Ketua Komisi Komunikasi dan Informasi MUI Pusat mengatakan, Demokrasi di Indonesia saat ini adalah demokrasi liberal yang tidak sesuai dengan nilai-nilai pancasila. Dalam kesempatan yang sama,  Koordinator Badan Eksekutif Mahasiswa Nasional (Kornas BEM Nas) Riyan Hidayat menilai, ada yang salah dalam sikap kita kali ini, khususnya suasana yang terjadi hari ini, Menurutnya, dinamika kebangsaan, dll. Itu semua adalah karya-karya elit, bukan karya kita sebagai millennials yang akan meneruskan estafet demokrasi ke depan. "Banyak dari kita yang masih melihat pemilu itu biasa saja, padahal ini merupakan salah satu penerapan demokrasi." beber Riyan. Sementara itu, Pengamat Politik, Adi Prayitno mengatakan bahwa dalam demokrasi elektoral, tidak peduli latar belakang orang tersebut, satu potret demokrasi sekarang memberikan kebebasan bagi siapa saja, inilah ruang demokrasi yang memungkinkan (jalan tol) perubahan bagi kita orang biasa-biasa saja. "Orang mau demo saja  dianggap makar, atau berpotensi makar. Kenapa aksi jalanan ini menjadi hantu bagi siapa yang berkuasa. Bukan  hanya saat ini, tapi bagi penguasa-penguasa sebelumnya. Tentu mobilisasi jalanan kan lebih memungkinkan untuk membangun sentimen atau bisa dikapitalisasi untuk melakukan apa saja. Bisa damai, bisa rusuh, dan bisa keos," katanya. Jalan tengah untuk meredakan yang paling mungkin adalah menunggu semua proses yang sedang berlangsung misalnya hasil keputusan KPU. (rizal/tri)

ADVERTISEMENT

Reporter: Admin Super
Editor: Admin Super
Sumber: -

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT