ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
JANJI adalah janji. Tidak kenal embel-embel istilah apapun, seperti janji palsu maupun janji politik. Kalau janji palsu, siapapun tahu karea tidak akan pernah ditepati. Adapun janji politik, yang sangat kental berlaku di negeri ini, si politisi/pejabat yang telah duduk dengan kekuasaannya, bisa segera melaksanakannya, kalaupun tidak, ya tidak apa-apa. Toh kekuasaan telah direngkuhnya. Kata orang Betawi, bodo amat alias sebodo teuing. Nah, inilah yang akan kita kritisi. Jokowi yang baru seumur jagung menjabat Gubernur DKI Jakarta, dan merealisasikan janji-janji politiknya, mulai goyah ‘tergiur’ oleh iming-iming partai politik untuk menghadapi Pilpres 2014. Dia tidak pernah berani mengatakan “tidak mau”, “nggak mau” ataupun “mboten purun” nyapres di tahun 2014. Ironisnya, alasan klise bahwa itu tugas partai demi bangsa dan negara, selalu muncul dari ucapan politisi maupun pejabat yang berlatar belakang politik. Benar adanya sinyalemen, manut atau menuruti keinginan partai pollitik itu lebih penting ketimbang membalas dukungan rakyat Jakarta yang telah memilihnya. Ingat, setumpuk janji-janji politik saat kampanye dulu begitu ‘menyihir’ warga Jakarta sehingga dia mendulang banyak suara. Sudah sepantasnya, bahkan seharusnya, semua janji itu dia tunaikan. Seperti halnya itu yang Jokowi lakukan saat di Solo. Alhasil pada masa kampanye periode kedua masa tugasnya, tanpa banyak gembor-gembor, rakyat sudah mantap dengan pilihannya pada Jokowi. Setumpuk masalah yang sangat ruwet bagi warga Jakarta bisa dikerucutkan menjadi: masalah Pendidikan, Kesehatan, Banjir, Perumahan Kumuh, Kemacetan, Pedagang Kaki Lima, dan puncaknya soal Kemacetan. Pendidikan, bukan karena warga kurang mampu bersekolah. Memang masih ada, tapi sistem rayonisasi sekolah yang kurang berjalan maksimal memberi kontribusi kemacetan bahkan menjurus terjadiya tawuran pelajar. Yang lebih memprihatinkan, karena sekolah masuk siang dan jauh letaknya, saat pulang masih keleleran di jalanan sampai masuk waktu salat Maghrib, menunggu kendaraan angkutan umum. Moral agama mulai terkikis. Masalah kesehatan, mulai ada hasilnya. Pameo, “Orang miskin dilarang sakit”, sedikit demi sedikit diperbaiki. Kemudian masalah banjir, masih nol. Penanganan pedagang kaki lima (PKL) ada geliatnya. Pemukiman kumuh di bantaran Sungai Ciliwung masih wacana. Stress warga Jakarta menghadapi kemacetan jalanan Jakarta, belum ada tanda-tanda tertangani, kecuali sebatas penertiban parkir liar dengan pencopotan pentil ban mobil maupun motor. Malahan, terakhir sibuk larut urusin mobil murah. Yah, memang warga kita kan kebanyakan golongan menengah ke bawah, mungkin kemampuannya hanya sebatas itu. Kalaupun beli mobil yang lebih mahal, paling banter yang sekennya saja. Sebaiknya, Jokowi dan jajarannya ambil langkah antisipasi yang tegas seperti, aturan pembatasan operasional kendaraan pribadi, baik itu melalui penerapan jalan berbayar elektronik (Electronic Road Pricing) atau pemberlakuan nopol ganjil-genap. Ayo, itu diberlakukan secepatnya agar Jakarta tidak dipenuhi orang-orang yang stress, sehingga akan berimpak pada sikap mentalnya (mental attitude). Banyak kalangan mengingatkan Jokowi, karena dia sendiri pernah bilang akan menyelesaikan tugasnya di Jakarta. Bukankah tugasnya sebagai Gubernur DKI Jakarta periodenya 2012 sampai 2017. Saran yang paling bijak, penuhi dan laksanakanlah janji itu. Toh, kiprahnya untuk bangsa dan negara masih panjang. Kinerjanya baru mulai, dan jelas belum tuntas, apalagi sampai dinilai berhasil menata Jakarta. Rakyat sudah tidak bodoh lagi oleh nina bobok janji-janji kampanye. Bak, anjing berlari kencang, hanya karena di depan matanya digantung sekerat tulang. Kalau karir politik seseorang mulai pudar, dan rakyat tidak mau lagi memilihnya, baru dia tersadar dari mimpinya. Begitu pula orang Betawi, kalau merasa dibohongi orang lain, langsung nyerocos. Muke Gile.
ADVERTISEMENT
Berita Terkait
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Berita Terkini
ADVERTISEMENT
0 Komentar
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT