ADVERTISEMENT

Antara Kedelai dan Keledai

Kamis, 19 September 2013 12:46 WIB

Share
Antara Kedelai dan Keledai

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

KONDISI pangan nasional semakin buram. Rakyat harus menahan beban harga yang begitu tinggi. Di sisi lain, pemerintah tidak bersatu suara dalam mengeluarkan kebijakan untuk mengendalikannya. Dalam kasus kedelai, misalnya, Presiden SBY mengeluarkan Perpres Nomor 32 Tahun 2013 berisi instruksi agar Bulog mengamankan harga dan penyaluran kedelai. Tapi, di sisi lain Menteri Perdagangan mengeluarkan Permendag Nomor 45/M-DAG/PER/8/2013 tentang ketentuan impor kedelai dalam rangka program stabilisasi harga kedelai. Instruksi presiden sudah jelas bahwa Bulog harus mengamankan harga dan penyaluran kedelai, namun instruksi itu diganggu oleh Menteri Perdagangan melalui peraturannya. Maka, wajar saja kalau Dirut Perum Bulog, Sutarto Alimoeso, kesal. "Masak presiden sudah buat peraturan, ditentang menterinya? Apakah peraturan itu tidak ada yang bertentangan dengan perpres?" tanyanya. "Saya bingung. Ujungnya, ya sudahlah, biarkan saja," kata Sutarto, sebagaimana dikutip sejumlah media. Peraturan Menteri Perdagangan itu menyebutkan harga jual kedelai Rp8.490 per kilogram. Ini jelas menguntungkan importir. Soalnya, kedelai yang dijual para importir saat ini sudah dibeli dua bulan sebelumnya dengan harga lama, Rp5.600-Rp6.000 per kilogram. Okelah, akibat depresiasi rupiah atas dolar Amerika maka harga harus naik. Tapi, bukankah depresiasi rupiah baru terjadi Agustus 2013? Sedangkan impor kedelai dilakukan sebelum terjadi depresiasi. Asyik benar para importir itu, meraup keuntungan besar, sementara konsumen tercekik. Seperti kata Ketua Umum Dewan Kedelai Nasional, Benny A Kusbini, dengan menjual kedelai seharga Rp8.490 per kilogram, dipotong biaya pengapalan dan asuransi, para importir mengantongi untung minimal Rp2.000 per kilogram atau Rp1 triliun hanya dalam waktu dua bulan. Bagaimana etung-etungannya? Begini: stok kedelai di tangan importir itubiasanya 1,5 kali kebutuhan bulanan atau 300.000 ton. Selain itu, stok di perjalanan sekitar 200.000 ton. Jadi, total stok menjadi 500.000 ton. Semua itu dibeli dengan harga lama yang Rp5.600-Rp6.000 itu. Dengan keuntungan Rp2.000 per kilogram dikalikan 500.000 ton maka keuntungan importir minimum Rp1 triliun. Enak betul? Pertanyaan kita, kenapa komoditas strategis ini diserahkan ke pasar? Buat apa ada Bulog? Apalagi, Bulog sudah mendapat instruksi dari presiden untuk mengamankan harga dan penyaluran kedelai. Tetapi, kalau pemerintah melalui Kementerian Perdagangan justru membuat peraturan lain yang tidak sejalan dengan instruksi presiden itu, ini layak kita pertanyakan. Tidak hanya dengan Bulog, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan juga bersitegang dengan Menteri Pertanian Suswono dah bahkan dengan Wapres Boediono dalam penanganan kebijakan tentang kedelai ini. Bukankah seharusnya Presiden SBY segera turun tangan, mempertemukan mereka dalam sidang kabinet, misalnya? Ternyata tidak. Ketika rakyat menunggu kemungkinan Presiden SBY segera memimpin rapat untuk mempertemukan para pembantunya yang sedang bersitegang itu, yang muncul di berita justru SBY mengadakan pertemuan dengan para bakal capres hasil konvensi Partai Demokrat. Para importir menangguk keuntungan triliunan rupiah, sementara para penjual ketoprak dan gorengan tiga hari libur berjualan, gara-gara tidak mendapatkan tahu maupun tempe. Sedangkan para menteri tidak bersatu suara dalam menentukan kebijakan, presidennya juga tidak bisa menentukan skala prioritas tentang apa yang harus dilakukan. Malah pihak pemerintah seakan “bangga” mengimpor dan sekaligus menentukan harga Rp8.490 per kilogram kedelai. Seharusnya rakyat tetap menunggu dengan sabar hasil kedelai yang diproduksi oleh petani dalam swasembada pangan. Kenyataannya kita malah bangga dengan impor. Seharusnya pemerintah tidak perlu bangga mengumumkan harga kedelai dengan berkoar-koar. Ibaratnya, keledai pun akan tertawa melihat sikap pemerintah yang kekanak-kanakan mengumbar citra. Yang terpenting, bagaimana pemerintah menggalakkan petani untuk memanfaatkan lahan-lahan tidur atau bertanam kedelai dengan sistem tumpang sari, milsanya. Cara-cara yang ditempuh pemerintah sekarang ini bagi rakyat sudah klise, karena tidak menolong langsung kesejahteraan petani, melainkan hanya membangun citra dan wacana.

ADVERTISEMENT

Reporter: Admin Super
Editor: Admin Super
Sumber: -

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT