Menunggu Oposisi

Selasa 30 Apr 2024, 05:03 WIB
Presiden terpilih periode 2024-2029 Prabowo Subianto (kiri) saat bersalaman dengan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar (kanan) usai melakukan pertemuan di Kantor DPP PKB, Raden Saleh, Jakarta Pusat, Rabu (24/4/2024). Usai pertemuan tersebut Prabowo mengatakan PKB tetap ingin bekerjasama dengan dirinya dan Partai Gerindra meski sebelumnya dalam Pilpres 2024 berada di kubu berseberangan.Poskota/Ahmad Tri Hawaari

Presiden terpilih periode 2024-2029 Prabowo Subianto (kiri) saat bersalaman dengan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar (kanan) usai melakukan pertemuan di Kantor DPP PKB, Raden Saleh, Jakarta Pusat, Rabu (24/4/2024). Usai pertemuan tersebut Prabowo mengatakan PKB tetap ingin bekerjasama dengan dirinya dan Partai Gerindra meski sebelumnya dalam Pilpres 2024 berada di kubu berseberangan.Poskota/Ahmad Tri Hawaari

DAPAT diduga, koalisi parpol pendukung pemerintahan Prabowo-Gibran akan semakin gemuk. Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang sejak awal mendukung pencalonan Prabowo-Gibran sebagai capres-cawapres, akan mendapatkan tambahan kekuatan, setelah Nasdem,PKB dan PPP memberikan sinyal hendak bergabung.

Sebelumnya, dalam kompetisi pilpres, pasangan nomor urut 2 ini didukung 9 parpol baik parlemen maupun non parlemen serta partai baru, yakni Gerindra, Golkar, PAN, Demokrat, PBB, PSI, Gelora, Garuda dan Prima.

Dengan bergabungnya Nasdem, PKB dan PPP, maka parpol koalisi pendukung pemerintahan kian besar, setidaknya di parlemen memiliki kekuatan mayoritas, seputar 70 persen.

Kekuatan di parlemen dibutuhkan untuk melancarkan program-program pemerintah yang perlu mendapat persetujuan dari DPR. Tanpa kekuatan mayoritas di parlemen, dapat diduga pembahasan program akan berjalan tersendat.

Di sisi lain, guna memantapkan stabilitas politik dan pemerintahan, perlu dibangun koalisi yang solid agar bisa efektif menjalankan amanahnya, memenuhi janjinya kepada rakyat. Janji yang sudah disampaikan secara langsung kepada rakyat, ketika kampanye pilpres.

Tanpa soliditas parpol koalisi, pemerintah akan lemah, terombang-ambing keadaan tanpa dukungan dalam memperkuat kebijakan.

Koalisi dibutuhkan untuk membangun pemerintahan yang kuat dan hebat, tetapi oposisi tak kalah pentingnya guna mengawal jalannya pemerintahan benar-benar berada di atas rel yang “baik” dan “benar.”

Tentu baik bagi kemajuan bangsa , baik bagi rakyat secara keseluruhan, bukan rakyat konstituennya, bukan pula kelompok pendukungnya, sejawatnya dan kerabatnya.

Benar sebagaimana peraturan perundangan yang berlaku, bukan kebijakan yang diciptakan kemudian untuk menambah subur lingkaran koalisi. Bukan pula kebijakan yang memperkuat jalinan oligarki, terbentuknya kolusi dan pada gilirannya terbuka peluang korupsi.

Di negara mana pun oposisi dibutuhkan sebagai kekuatan penyeimbang. Lantas siapa yang hendak menjadi oposisi? Jawabnya masih terdapat dua parpol parlemen, yakni PDIP dan PKS yang hingga kini masih misteri, apakah akan bergabung atau berada di luar.

Apakah PDIP akan kembali menapaki jejaknya sebagai parpol oposisi sebagaimana di era pemerintahan SBY. Begitu juga apakah, akan tetap berada di luar, melajukan jejaknya menjadi oposisi sebagaimana era pemerintahan Jokowi.

News Update