"Pada 4 Mei 1986. Polisi menembak demonstran secara membabi buta setelah dari arah massa ada bom yang dilempar hingga menyebabkan seorang polisi meninggal," tulis Fathimah.
Dalam kekacauan tersebut, identitas pengebom tetap tidak terungkap, sementara aparat berupaya menekan gerakan buruh dengan menyerang setiap pertemuan serta sekretariat serikat pekerja.
Sebagai respons atas rentetan aksi dan penganiayaan tersebut, pengadilan memutuskan hukuman berat terhadap tokoh-tokoh gerakan buruh, di mana salah seorang anarkis dihukum gantung pada 11 November 1987.
BACA JUGA:
Peristiwa tersebut bukan semata-mata soal tuntutan “Delapan Jam Sehari” melainkan juga merupakan simbol pengorbanan dan harapan akan perubahan tatanan kerja yang lebih adil.
Pengakuan atas perjuangan tersebut semakin melebar ketika, pada Kongres Internasional Kedua di Paris pada 1889, 1 Mei ditetapkan sebagai Hari Buruh Internasional.
Meskipun pengakuan secara resmi datang dari Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) pada tahun 1919, makna dari perjuangan para buruh terus membekas sebagai dasar bagi pencapaian hak-hak mereka hingga saat ini.
"Kondisi kerja yang kita rasakan hari ini tak pernah luput dari sejarah panjang perjuangan kaum buruh yang dahulu harus meregang nyawa di pabrik karena kerja yang tak manusiawi, atau meregang nyawa karena menuntut keadilan dan kondisi kerja yang layak di jalanan. Inilah mengapa kita merayakan May Day," tutup Fathimah.