POSKOTA.CO.ID - Dalam beberapa tahun terakhir, maraknya platform pinjaman online (pinjol) ilegal telah menjadi momok baru bagi masyarakat Indonesia.
Iklan yang menyuguhkan pencairan cepat, tanpa agunan, dan proses yang mudah seakan menjadi angin segar di tengah kesulitan ekonomi.
Namun, di balik kemudahan itu tersembunyi jebakan berbahaya: teror psikologis dan kekerasan digital dari debt collector ilegal.
Ade, seorang mantan debt collector dari sebuah lembaga pinjol ilegal di Semarang, mengungkapkan praktik keji yang dijalankan oleh tim penagih utang di balik layar. Dalam pengakuannya, ia membongkar sistem yang tidak mengenal belas kasihan dan melanggar hukum secara terang-terangan.
Baca Juga: Cara Membedakan Pinjol Legal dan Ilegal agar Tak Jadi Korban, Begini Cara Cek Legalitasnnya
Penyebaran Foto Tak Senonoh: Senjata Tekanan yang Brutal
Salah satu metode paling mengejutkan yang digunakan oleh debt collector pinjol ilegal adalah manipulasi gambar untuk mempermalukan peminjam.
Foto wajah peminjam dipotong dan ditempelkan secara digital ke tubuh tanpa busana, lalu disebarkan ke seluruh kontak dalam ponsel korban. Aksi ini tidak hanya merendahkan martabat manusia, tetapi juga masuk dalam kategori kekerasan berbasis gender digital dan pelanggaran hukum pidana.
Menurut Ade, tindakan ini biasanya dilakukan ketika peminjam telah menunggak lebih dari satu bulan dan tidak memberikan respons atas upaya penagihan. Tujuannya jelas: memaksa korban untuk membayar utang melalui tekanan emosional dan rasa malu yang mendalam.
Teror Layanan dan Barang COD: Mempermalukan Secara Fisik
Selain menyebarkan foto, debt collector juga memanfaatkan jasa pengiriman sebagai alat untuk mempermalukan korban. Mereka akan mengirimkan barang-barang yang tidak pernah dipesan peminjam, seperti makanan cepat saji, furnitur, bahkan layanan sedot WC ke alamat rumah peminjam dengan sistem Cash on Delivery (COD).
Modus ini bertujuan agar peminjam merasa terpojok, dipermalukan di hadapan tetangga atau keluarga, dan pada akhirnya menyerah untuk melunasi utangnya.
Manipulasi Identitas: Wanita Dicap PSK, Pria Dituduh DPO
Ade juga menyebut bahwa debt collector tidak segan-segan merusak reputasi sosial peminjam. Bila korban adalah perempuan, maka mereka akan dicap sebagai pekerja seks komersial di media sosial atau melalui pesan singkat ke kontak-kontaknya. Sebaliknya, bila peminjam laki-laki, maka akan dituduh sebagai buronan polisi (Daftar Pencarian Orang).
Teror semacam ini merupakan bentuk intimidasi yang sistematis dan merusak integritas personal. Akses ke data pribadi yang mereka miliki menjadi senjata utama untuk mengendalikan korban.
Celah Keamanan di Aplikasi Pinjol Ilegal
Sumber utama dari akses tersebut berasal dari izin aplikasi yang diberikan peminjam tanpa sadar. Aplikasi pinjol ilegal yang dikirim melalui tautan WhatsApp umumnya meminta akses ke kontak, lokasi, kamera, dan galeri ponsel. Setelah diizinkan, semua data ini bisa dimanfaatkan untuk meneror, mengancam, bahkan mempermalukan korban.
Sayangnya, banyak masyarakat yang tidak memahami bahwa memberikan izin akses tersebut sama saja dengan menyerahkan kendali atas kehidupan digitalnya kepada pihak yang tidak bertanggung jawab.
Skema Pinjaman yang Menjerat: Dana Minim, Bunga Maksimal
Praktik pinjol ilegal juga sangat tidak adil dalam hal keuangan. Dari pinjaman yang diajukan sebesar Rp 1 juta, hanya sekitar 60% yang benar-benar diterima oleh peminjam karena sisanya dipotong untuk biaya administrasi. Meski begitu, total pembayaran yang diwajibkan bisa mencapai Rp 1,1 juta dalam tempo singkat.
Lebih buruk lagi, bunga keterlambatan dikenakan harian sebesar 0,5%. Artinya, semakin lama menunda pembayaran, maka jumlah utang akan berlipat ganda dan hampir mustahil dilunasi oleh peminjam berpenghasilan rendah.
Profesi yang Menggiurkan di Tengah Pelanggaran Etika
Meskipun sarat pelanggaran, profesi debt collector di jaringan pinjol ilegal tetap diminati. Ade mengungkapkan bahwa ia menerima gaji antara Rp 4 juta hingga Rp 5 juta per bulan, lengkap dengan jaminan BPJS dan insentif. Dalam satu kantor saja, bisa terdapat lebih dari 500 orang penagih yang bekerja dalam sistem shift.
Namun, tingginya pendapatan ini harus dibayar dengan praktik tak beretika, tekanan dari atasan untuk mencapai target penagihan, serta potensi ancaman hukum karena aktivitas mereka jelas melanggar undang-undang perlindungan konsumen dan hak privasi digital.
Aturan Etis Menurut OJK: Kontras dengan Kenyataan
Menurut regulasi yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), penagihan utang oleh debt collector harus mengikuti prinsip-prinsip etika dan perlindungan konsumen. Hal ini antara lain:
- Penagihan hanya boleh dilakukan pada pukul 08.00–20.00.
- Dilarang menggunakan ancaman, kekerasan, atau tindakan mempermalukan.
- Komunikasi hanya dilakukan kepada peminjam, bukan kepada keluarga, teman, atau rekan kerja.
- Tidak diperkenankan menyebarkan informasi pinjaman kepada pihak ketiga tanpa persetujuan.
Namun, dalam praktiknya, pinjol ilegal mengabaikan seluruh ketentuan ini. Mereka tidak diawasi oleh otoritas keuangan resmi dan biasanya beroperasi di balik perusahaan fiktif atau bahkan tanpa legalitas sama sekali.
Tindakan Hukum dan Penutupan Kantor Pinjol Ilegal
Beberapa penggerebekan oleh pihak kepolisian telah dilakukan terhadap kantor-kantor penagih pinjol ilegal. Namun, karena banyak di antara mereka beroperasi secara daring atau menggunakan server luar negeri, penindakan menjadi tantangan tersendiri.
Di balik layar, jaringan pinjol ilegal ini tetap bergerak aktif, menyebar aplikasi baru dengan nama berbeda, dan menjaring korban melalui iklan di media sosial, SMS spam, serta tautan tidak resmi.
Baca Juga: Klaim Sekarang! Cara Dapat Saldo DANA Gratis Rp250.000 dari Game Penghasil Uang
Cara Aman Menghindari Jeratan Pinjol Ilegal
Agar terhindar dari jerat utang dan teror pinjol ilegal, masyarakat disarankan untuk:
- Hanya menggunakan aplikasi pinjaman dari penyelenggara yang terdaftar di OJK.
- Selalu memeriksa legalitas aplikasi di situs resmi OJK atau melalui kanal pengaduan OJK.
- Tidak mengklik tautan pinjaman yang dikirim via WhatsApp, SMS, atau media sosial.
- Menolak memberikan akses ke data pribadi jika tidak memahami konsekuensinya.
- Menyimpan bukti komunikasi dan melaporkan intimidasi ke aparat hukum.
Waspada dan Bijak dalam Mengelola Keuangan Digital
Fenomena pinjol ilegal bukan sekadar urusan finansial, melainkan isu perlindungan konsumen dan pelanggaran hak asasi manusia. Teror psikologis, pemerasan digital, dan penyalahgunaan data pribadi harus dihentikan dengan pendekatan hukum, edukasi publik, dan kerja sama lintas sektor.
Masyarakat perlu disadarkan bahwa solusi keuangan bukanlah pinjaman kilat tanpa syarat, melainkan pengelolaan ekonomi yang bijak dan berbasis pada literasi digital.