"Katanya sampai dicoba dikeluarin ASI dari payudara pasien. Udah rame dia di Garut dok, tapi entah kenapa masih praktik di klinik kecil itu. Semoga segera diusut," tulis akun anonim kepada drg. Mirza.
Selain itu, modus lain yang diungkap oleh pasien lain adalah ajakan bertemu melalui pesan WhatsApp setelah konsultasi. Bahkan, jika ajakan tersebut ditolak, dokter tersebut disebut-sebut mengirimkan pesan bernada ancaman atau menyumpahi pasien.
"Kalau korban nolak buat diajak ketemuan, si pelaku malah nyumpahin," ujar salah satu akun kepada drg. Mirza.
Etika Profesi dan Tanggung Jawab IDI
Kasus ini kembali mengangkat pentingnya penegakan kode etik kedokteran. Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki), seorang dokter wajib menjaga profesionalisme dan menghormati martabat pasien.
Pelecehan dalam bentuk apa pun, terlebih dalam kondisi pasien yang tidak berdaya, merupakan pelanggaran serius terhadap etika profesi.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) selaku organisasi profesi memiliki peran penting dalam menegakkan disiplin anggota.
Selain aparat penegak hukum, IDI wajib menyelidiki kasus ini dan, bila terbukti, memberikan sanksi berupa pencabutan izin praktik atau pemberhentian keanggotaan.
Klinik tempat praktik juga harus mendapat perhatian. Jika terbukti tidak menerapkan standar pelayanan yang aman dan tidak memiliki pengawasan ketat, maka Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan setempat perlu melakukan evaluasi menyeluruh.
Kampanye Speak Up dan Dukungan Influencer
Gelombang keberanian korban untuk speak up sangat dipengaruhi oleh dukungan figur publik dan tenaga kesehatan yang aktif di media sosial.
Dalam kasus ini, kehadiran drg. Mirza sebagai jembatan antara korban dan publik sangat penting. Ia tidak hanya memverifikasi kebenaran laporan, namun juga menyediakan ruang aman bagi korban lain untuk menyampaikan kesaksian.
Peran influencer kesehatan dalam advokasi korban pelecehan medis menjadi fenomena baru yang menunjukkan bahwa media sosial dapat menjadi alat pemberdayaan pasien.
Namun, hal ini juga harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak menjadi ruang penghakiman sepihak atau trial by social media.