Diana menilai, kebijakan tarif tinggi dari Trump bisa menjadi bumerang bagi Amerika sendiri. Sebab, negara tersebut akan kesulitan memenuhi kebutuhan domestiknya yang selama ini dipenuhi lewat impor dari berbagai negara, termasuk Indonesia.
“Justru saya khawatir kebijakan Trump ini jadi blunder bagi warga AS nantinya karena akan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan yang mungkin selama ini diimpor dari negara lain,” ucapnya.
Sebagai langkah lanjutan, Diana berharap Pemprov Jakarta juga mengambil bagian aktif dalam menyikapi kondisi ini. Dia meminta agar dilakukan kajian menyeluruh mengenai dampak tarif internasional dan disusun strategi mitigasi yang bisa meningkatkan daya saing industri lokal.
“Kami merasa, ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh Pemprov Jakarta antara lain, menghitung dampak kenaikan tarif, mengembangkan strategi mitigasi, meningkatkan daya saing, diversifikasi pasar, dan koordinasi dengan para stakeholder, utamanya dunia usaha,” tutur Diana.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Andry Satrio Nugroho, menilai kebijakan tarif tambahan sebesar 32 persen yang diterapkan oleh Amerika Serikat terhadap produk Indonesia merupakan ancaman serius yang tak boleh dipandang sebelah mata.
Menurut Andry, sektor-sektor ekspor utama Indonesia seperti tekstil, pakaian, dan alas kaki sangat rentan terkena imbas dari kebijakan ini.
“Sektor tekstil, pakaian, dan alas kaki menyumbang 27,5 persen dari total ekspor kita ke AS. Belum lagi kelapa sawit serta karet yang juga merupakan komoditas strategis bagi negara kita,” kata Andry.
Dia menambahkan, dampak dari tarif resiprokal tersebut bukan hanya soal penurunan volume perdagangan.
Lebih jauh lagi, tekanan ini dapat berujung pada kerugian besar bagi sektor tenaga kerja di dalam negeri. Jutaan pekerja terancam kehilangan pekerjaan, termasuk yang berada di Jakarta dan kawasan penyangganya seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Andry mengingatkan, situasi ini bukan lagi ancaman di atas kertas. Dalam tiga tahun terakhir saja, lebih dari 30 pabrik tekstil dan industri turunannya sudah gulung tikar akibat tekanan dari pasar global.
“Jika pemerintah terus diam tanpa mengambil tindakan nyata, kita bukan hanya kehilangan pasar utama tetapi juga akan menghadapi badai PHK lanjutan yang jauh lebih besar,” tegasnya.
Dia menilai, pemerintah perlu segera turun tangan dan menunjukkan keseriusan dalam menghadapi efek domino dari kebijakan perdagangan luar negeri tersebut. Menurutnya, kebijakan ini harus dijawab dengan langkah-langkah konkret yang bisa melindungi industri lokal dan para pekerja di dalamnya.