Di dalam negeri, kendati diprotes berbagai negara bagian dan masyarakat luas, Trump melancarkan efisiensi anggaran dengan memberhentikan jutaan pegawai federal dan negara bagian, kebijakan imigrasi yang melanggar kebebasan berbicara dan berkumpul, dan tarif resiprokalnya.
Rasanya, Trump akan bertahan dengan sikapnya jika kita belajar dari karakternya sebagai pebinis dan tokoh masyarakat kulit putih AS. Maka 50 negara yang tarifnya dinaikkan mengajukan negosiasi. Sementara musuh utamanya, Kanada, Meksiko dan RRC melakukan pembalasan. Artinya, perang ekonomi belum usai.
Bagi Indonesia yang terkena penetapan tarif 32 persen dan ingin menegosiasikan, sebenarnya patut dilihat dalam perspektif risiko dan manfaat. Belajar dari 40 tahun terakhir, jatuhnya nilai tukar dan merupakan nilai tukar terlemah ke lima di dunia memberikan pembelajaran bahwa ada yang salah dalam pemilihan dan pemilahan kebijakan.
Defisit neraca pembayaran bersamaan dengan defisit anggaran menunjukkan surplus neraca perdagangan tidak identik dengan membaiknya makro prudensial (nilai tukar, suku bunga, dan inflasi). Rentannya makro prudensial ini membuat mikro prudensial selalu berhadapan dengan rendahnya kepastian struktur biaya produksi.
Pasar barang (terutama pada barang dan jasa hajat hidup orang banyak) dan pasar uang pasti memengaruhi pasar tenaga kerja. Pemutusan Hubungan Kerja pun terjadi lebih disebabkan oleh kebijakan pemerintah. Sementara membaiknya nilai ekspor terhadap utang luar negeri dari 123 persen pada 2013 menjadi 130 persen pada 2024 malah menunjukkan ada yang salah dengan struktural perekonomian Indonesia.
Penyebabnya adalah deindustrialisasi yang berjalan sejak era SBY hingga saat ini. Trump sebenarnya sedang mengajarkan kaum teknokrat dan intelektual ultra neoliberal Indoensial bahwa inward looking (melihat ke dalam, mengutamakan kepentingan nasional) merupakan hal sangat penting untuk memelihara dan menjaga kedaulatan ekonomi.
Penyelamatan ini harus dilakukan bukan hanya dengan menganekaragamkan pasar, atau memperluas pasar. Ada yang lebih penting lagi, yakni memperbaiki kepercayaan sosial, politik dan ekonomi bersamaan dengan mendorong terjadinya inovasi sehingga bangsa ini tidak melulu dijadikan konsumen, atau menjadi budak dan operator atas kemajuan teknologi informas dan komunikasi.
Bangsa Indonesia tetap mempunyai harapan besar untuk bangkit sepanjang bangsa ini setia, tangguh dan teguh mempertahankan janji suci para pendiri republik. Mari berhenti menjadi penjilat dan penghianat karena kita mempunyai kiblat ekonomi sendiri. (Ichsanuddin Noorsy)