Sungkeman umumnya dilakukan setelah salat Idulfitri. Anak-anak berkumpul di ruang keluarga, lalu secara bergantian mendatangi orang tua, kakek, nenek, atau paman dan bibi.
Mereka duduk bersimpuh sambil meminita maaf atas segala kesalahan. Orang tua kemudian membalas dengan memeluk atau mengusap kepala sambil memberikan doa.
Yang menarik, tradisi ini tidak hanya terjadi di rumah. Banyak keluarga Jawa yang tetap melakukannya meski sedang merantau, misalnya melalui panggilan video.
Hal ini menunjukkan bahwa esensi sungkeman tetap hidup meski jarak memisahkan.
Di tengah gaya hidup yang serba cepat, sungkeman tetap bertahan karena nilai-nilainya universal. Bahkan, banyak keluarga non-Jawa yang mulai mengadopsi tradisi ini.
Misalnya, di beberapa daerah Sumatera atau Kalimantan, sungkeman dilakukan dengan cara berjabat tangan sambil menunduk.
Tantangan terbesarnya adalah generasi muda yang kadang menganggap sungkeman kuno.
Namun, jika dipahami maknanya, ritual ini justru bisa menjadi sarana edukasi moral tanpa terkesan menggurui.