POSKOTA.CO.ID - Dalam perbincangan mengenai penentuan awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, sering muncul pertanyaan mengapa Muhammadiyah tidak mengikuti sistem satu Ramadhan, satu Syawal, dan satu Dzulhijjah yang berdasar pada rukyat atau pengamatan hilal, melainkan menggunakan metode hisab hakiki.
Perbedaan ini menuntut penjelasan yang lebih mendalam, khususnya kepada masyarakat yang masih bingung mengenai perbedaan cara menentukan awal bulan yang krusial ini.
Ada beberapa alasan yang sempat dijelaskan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof.Dr.K.H. Haedar Nashir, M.Si.
Baca Juga: Kapan Idul Fitri 2025? Ini Jadwal Resmi Menurut Pemerintah dan Proses Penentuannya
Dikutip dari YouTube Muhammadiyah Channel, berikut ini penjelasan mengenai alasan-alasan tersebut berdasarkan prinsip-prinsip yang dianut oleh Muhammadiyah menurut Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof.Dr.K.H. Haedar Nashir, M.Si.
3 Alasan Muhammadiyah Gunakan Metode Hisab untuk Tentukan Awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah
1. Dasar Hukum dan Keagamaan
Al Quran dan Hadis
Penentuan awal bulan dalam Islam, baik untuk Ramadhan, Idul Fitri, maupun Dzulhijjah, berlandaskan pada ajaran Al Quran dan hadis.
Dalam Al Quran, terdapat beberapa ayat yang menjelaskan tentang "hisab" (perhitungan), yang menunjukkan pentingnya perhitungan dalam menentukan waktu-waktu penting dalam Islam.
Baca Juga: 6 Tradisi Unik Sambut Hari Raya Idul Fitri di Indonesia
Konsep hisab ini mendasari praktik Muhammadiyah dalam menggunakan metode hisab hakiki, yang lebih kokoh dan memiliki landasan yang jelas dari Al Quran.
Sementara dalam Hadist Nabi, terdapat dua hadis yang sering dibahas terkait dengan penentuan awal bulan. Yang pertama berbunyi, "Berpuasalah kamu ketika melihat hilal dan berbukalah ketika melihatnya," yang menunjukkan metode rukyat (pengamatan).
Sementara yang kedua adalah perintah dari Nabi untuk menghitung waktu berdasarkan pengetahuan ilmiah yang ada, yang selaras dengan metode hisab.