Dua di antara ratusan generasi baru keturunan prajurit sukarelawan Mataram yang lahir di Betawi adalah Haji Mursalun dan Bustanil Arifin. Keduanya adalah pendiri Masjid Jami Matraman Dalem yang kita bahas saat ini.
Masjid Jami Matraman didirikan pada 1837 M dengan arsitektur yang terinspirasi oleh bentuk masjid di Timur Tengah dan India.
Masjid ini memiliki kubah besar yang menjulang tinggi di tengah, dikelilingi oleh dua menara yang melambangkan keagungan Islam. Warna kuning keemasan pada masjid ini mencolok dan memberikan kesan berani, mencerminkan semangat perjuangan bagi kaum yang berjuang untuk kemerdekaan Tanah Air.
Pada saat peresmiannya, salat Jumat pertama dipimpin oleh Pangeran Jonet dari Yogyakarta, salah satu ahli waris Pangeran Diponegoro.
Dari masjid ini, ajaran tauhid berkumandang, mengajak umat untuk mengabdi kepada Allah SWT secara total dan melepaskan belenggu penghambaan kepada manusia. Ini adalah sebuah falsafah kemerdekaan yang mendalam.
Aktivitas masjid ini tidak disenangi oleh Kompeni sebagai penguasa saat itu. Pemerintah Hindia Belanda mengawasi setiap kegiatan di masjid, termasuk salat Jumat dan majelis taklim.
Belanda khawatir ajaran yang disebarkan dapat membangkitkan kesadaran rakyat untuk menentang penjajah.
Pada 1920, beredar kabar bahwa pemerintah berencana membongkar Masjid Jami Matraman Dalem. Beberapa tokoh masyarakat dan ulama dipanggil ke Hofd Bureau untuk membahas persoalan ini.
Namun, semua tokoh dan ulama sepakat menolak rencana tersebut. Haji Mursalun dan Bustanil Arifin, yang sudah sepuh, berjuang keras untuk menggalang kekuatan umat menentang rencana pemerintah.