Widyanta memaparkan praktik pemalakan yang terjadi karena adanya kesenjangan sosial yang semakin melebar. Hal ini menjadi faktor pendorong maraknya aksi pemalakan.
Ia menilai kelompok elti dengan mudah memamerkan gaya hidup mewah di berbagai platform media sosial dan ruang publik.
Sementara di sisi lain, banyak masyarakat yang harus berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, bahkan dalam kondisi yang semakin sulit akibat ketimpangan ekonomi yang terjadi.
Adanya fenomena tersebut tidak hanya menciptakan kecemburuan sosial biasa, tetapi membentuk rasa frustasi kolektif di kalangan masyarakat kelas bawah.
Ditambah adanya ketidakadilan dalam distribusi kekayaan dan akses terhadap sumber ekonomi yang memicu perasaan tidak puas dan mendorong sebagian kelompok masyarakat melakukan tindakan menyimpang, termasuk aksi pemalakan yang dilakukan ormas.
“Kondisi ini semakin parah ketika ketidakadilan sosial ini terus berulang, sementara di sisi lain budaya konsumtif semakin dipertontonkan tanpa kontrol,” kata Widyanta.
Ia pun menyebutkan tindakan premanisme yang dilakukan oleh ormas ini tidak bisa dibiarkan terus terjadi, karena dampaknya akan semaki meluas terhadap kestabilan sosial dan dunia usaha.
Penegakan hukum harus diterapkan secara tegas, tanpa pandang bulu serta tidak boleh terhambat oleh kepentingan politik atau kedekatan dengan aparat.
“Lebih berbahaya dan memiliki dampak sistemik jauh lebih luas adalah pejabat yang secara terang-terangan mencabik konstitusi demi kepentingan pribadi dan kelompoknya, menciptakan kebijakan yang tidak adil serta membiarkan ketipangan sosial semakin melebar,” pungkasnya.