"memang itulah seharusnya seoang tentara, tentu hal ini sangat-sangat tidak masuk ketika kita hadapkan pada konteks struktur bermasyarakat," jelas Ferry Irwandi.
Kemudian alasan kedua kenapa dirinya sangat menolak UU TNI adalah karena TNI tidak disiapkan untuk berdiskusi, berbeda dengan sipil.
Jadi hal ini disebutnya akan menjadi bumerang jika TNI terlalu banyak mencampuri urusan sipil, maka mereka akan patuh kepada atasannya dan tidak memberikan ruang kepada publik untuk bersuara.
"kedua militer tidak dilatih untuk bertanya, tapi militer dilatih untuk tidak bertanya, militer tidak dilatih untuk berdiskusi, militer dilatih untuk patuh, dan sekali lagi dalam konteks kemiliteran itu dibutuhkan," kata Ferry Irwandi lagi.
"tetapi kalau dalam struktur sipil, dalam struktur bermasyarakat dalam semua urusan sipil maka ini menjadi suatu bumerang," jelasnya.
Diantarannya ada 3 pasal yang disahkan dalam UU TNI 2025 dan dinilai problematik, yakni terkait dengan penambahan posisi militer di kemnterian lembaga yang merupakan ranah sipil, penambahan usia pensiun TNI, dan penambahan tugas dalam penanganan siber.
Dari pengesahan UU ini, TNI sekarang bisa menjabat di 14 Kementerian dan Lembaga pemerintah tanpa harus melepaskan jabatannya di militer.
Selain itu, pengesahan UU TNI dalam penanganan siber juga dikhawatirkan akan menutup ruang-ruang berpendapat, dimana saat ini dunia digital dan media sosial serta internet menjadi platform utama yang dipakai masyarakat.