POSKOTA.CO.ID - Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) sedang menjadi sorotan tajam dari berbagai elemen masyarakat sipil.
Beberapa ketentuan baru yang diusulkan dalam revisi tersebut dinilai membuka peluang bagi militer untuk kembali berperan di sektor sipil, serupa dengan konsep dwifungsi yang pernah diterapkan pada masa Orde Baru.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai bahwa upaya revisi ini mengarah pada pelebaran kewenangan TNI di luar tugas-tugas pertahanan negara.
Baca Juga: Ikut Komentari RUU TNI, DPR RI Sebut Draft di Media Sosial Berbeda: Hanya Revisi 3 Pasal
Menurut mereka, hal ini bertentangan dengan semangat reformasi dan prinsip-prinsip konstitusi yang telah memperjelas pemisahan peran militer dan sipil pasca-1998.
“YLBHI memandang bahwa revisi UU TNI adalah bagian dari agenda sistematis untuk menghidupkan kembali fungsi ganda militer, di mana prajurit tidak hanya menjalankan peran pertahanan, tetapi juga terlibat dalam politik serta bisnis,” tulisnya dalam pernyataan resmi yang dikutip Poskota pada Senin, 17 Maret 2025.
Proses Pembahasan Dinilai Tidak Transparan
Sejumlah kelompok dalam Koalisi Masyarakat Sipil juga mengkritik proses pembahasan RUU yang dilakukan secara tertutup. Mereka menyoroti pertemuan antara DPR dan pemerintah yang berlangsung di sebuah hotel di Jakarta dengan alasan renovasi ruang rapat.
Para aktivis keamanan, termasuk KontraS, mengecam langkah tersebut dan mendesak agar proses legislasi dihentikan sementara. Mereka menilai, pembahasan yang tidak terbuka kepada publik berpotensi mengabaikan prinsip akuntabilitas.
“Kami dari Koalisi Reformasi Sektor Keamanan mendesak agar pembahasan dihentikan. Tidak seharusnya agenda sebesar ini dilangsungkan secara tertutup,” tegas perwakilan mereka dalam aksi protes di lokasi rapat.
Baca Juga: Ferry Irwandi Tegas Tolak Revisi RUU TNI: Kita Menghadapi Ancaman..
Tanggapan dari Pihak Militer
Sementara itu, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Maruli Simanjuntak menampik tudingan bahwa revisi UU ini akan membawa TNI kembali ke era dwifungsi. Ia menyebut bahwa tuduhan-tuduhan tersebut tidak berdasar dan hanya bertujuan mendiskreditkan institusi militer.
“Jangan lebay! Tidak perlu membuat kegaduhan seolah-olah TNI akan kembali ke masa lalu. Menurut saya, yang berpikir seperti itu kampungan,” ujar Maruli dalam keterangan tertulisnya pada Kamis, 13 Maret 2025 lalu.
Pasal-Pasal yang Menjadi Sorotan
Setidaknya terdapat empat pasal dalam revisi UU TNI yang menjadi bahan perdebatan. Pasal-pasal tersebut terkait dengan perluasan tugas TNI di luar fungsi pertahanan, penempatan prajurit di instansi sipil, serta aturan baru mengenai batas usia pensiun.
Baca Juga: Fedi Nuril Tegas Tolak RUU TNI, Ingatkan Ancaman Militerisasi Pemerintahan
1. Penambahan Peran Non-Militer (Pasal 7 Ayat 2)
Pemerintah mengusulkan penambahan tiga tugas non-tempur bagi TNI, yaitu:
- Penanganan ancaman siber.
- Perlindungan dan penyelamatan WNI di luar negeri.
- Pemberantasan penyalahgunaan narkoba.
- Sebelumnya, hanya ada 14 tugas militer di luar operasi perang dalam UU yang berlaku.
2. Penempatan di Instansi Sipil (Pasal 47)
Jumlah instansi sipil yang dapat diisi oleh prajurit aktif diperluas dari 10 menjadi 16. Beberapa lembaga yang masuk dalam daftar baru meliputi Bakamla, BNPB, BNPT, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kejaksaan Agung, dan BNPP.
Disebutkan bahwa penempatan prajurit di jabatan sipil tersebut akan tetap mengikuti aturan administrasi yang berlaku di masing-masing lembaga.
Baca Juga: Pandji Pragiwaksono Soroti Satu Nama Anggota Panja RUU TNI, Siapa Sosok H Oleh Soleh?
3. Batas Usia Pensiun (Pasal 53)
Revisi RUU TNI juga mengubah batas usia pensiun prajurit:
- Bintara dan Tamtama: 55 tahun.
- Perwira hingga Kolonel: 58 tahun.
- Perwira Tinggi Bintang 1: 60 tahun.
- Perwira Tinggi Bintang 2: 61 tahun.
- Perwira Tinggi Bintang 3: 62 tahun.
- Khusus Jenderal Bintang 4, usia pensiun paling tinggi 63 tahun dan dapat diperpanjang dua kali melalui keputusan Presiden.
4. Pengecualian Masa Dinas
Prajurit yang mengisi jabatan fungsional dapat melanjutkan masa dinasnya sesuai ketentuan perundangan yang berlaku.
Rencana revisi UU TNI ini memicu perdebatan yang hangat di tengah masyarakat. Di satu sisi, pemerintah dan TNI menegaskan bahwa perluasan peran tersebut bertujuan menjawab tantangan keamanan modern.
Di sisi lain, masyarakat sipil mengingatkan pentingnya menjaga netralitas militer dan menghindari kembalinya praktik-praktik masa lalu.