Ini menjadi dasar bahwa seseorang yang berbuat baik akan terus melanjutkan perbuatannya, demikian juga sebaliknya bagi orang yang berbuat buruk.
Sebagai contoh, seseorang yang berbohong sekali akan cenderung berbohong lagi, dan kebohongan berikutnya akan mengundang kebohongan selanjutnya.
Misalnya, seorang siswa terlambat datang ke sekolah. Ketika ditanya alasannya, ia mengatakan bahwa ia terjebak kemacetan.
Padahal, ia sebenarnya kesiangan. Untuk mendukung kebohongannya, ia mengatakan bahwa jalan yang dilalui macet. Ketika ditanya lebih lanjut, ia pun mengarang cerita tentang adanya kecelakaan.
Ketika ditanya lebih lanjut mengenai kecelakaan itu, ternyata tidak ada kecelakaan di jalan yang ia lewati. Kebohongan yang pertama mengundang kebohongan berikutnya.
Fenomena ini juga berlaku dalam pelalaian terhadap ibadah. Pelalaian terhadap malam-malam yang tersisa dalam bulan Ramadhan dapat menjadi tanda bahwa seseorang belum mendapatkan Lailatul Qadar.
Sebaliknya, orang yang benar-benar mendapatkan Lailatul Qadar akan terus berusaha untuk menjaga keistiqomahan dalam beribadah, bahkan setelah malam tersebut berlalu.
Keistiqomahan sebagai Indikator
Selanjutnya, Ustad Muhammad Nuzul Dzikri mengatakan bahwa salah satu ciri khas orang yang mendapatkan Lailatul Qadar adalah keistiqomahan, yaitu tekad yang kuat untuk terus beribadah dengan fokus dan penuh semangat.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mencontohkan bagaimana beliau menjalani sepuluh hari terakhir Ramadan dengan penuh semangat, tidak membuang waktu untuk hal-hal yang tidak bermanfaat.
Hal ini menunjukkan bahwa orang yang mendapatkan Lailatul Qadar tidak akan pernah merasa bosan atau tergoda untuk menyia-nyiakan malam-malam yang tersisa.
Fokus dan tekad yang kuat adalah kunci utama dalam meraih malam penuh berkah ini.
Untuk itu, kita perlu menjaga ketekunan dalam beribadah selama Ramadan, terutama pada sepuluh malam terakhir.