Dulu, minyak goreng sempat langka, hingga masyarakat harus antre dan berburu membeli. Buruan didapatkan, tetapi harganya mahal. Itu terjadi dua atau tiga tahun lalu.
Kelangkaan teratasi dengan terbitnya minyak goreng rakyat yang lebih dikenal dengan kemasan MinyaKita yang tersebar luas karena ditunjuk banyak produsen di sejumlah daerah sebagai pemasok.
Harga pun sesuai harga eceran tertinggi (HET) yang telah ditetapkan Kementerian Perdagangan sebesar Rp15.700 per liter.
Beberapa hari terakhir, dihebohkan karena sejumlah perusahaan produsen minyak goreng rakyat Minyakita diduga mengurangi takaran – volume sekitar 200 mililiter dalam kemasan botol 1 liter dan pouch 2 liter.
“Artinya kita beli 1 liter yang didapat kurang dari 1 liter. Tak ubahnya kita membeli barang 10 buah, hanya dikasih 8 buah,” ujar bung Heri mengawali obrolan warteg bersama sohibnya, mas Bro dan bang Yudi.
“Mungkin waktu produksi ada yang slip sehingga takaran tidak penuh. Kan sering dikatakan, dari seribu produksi, mungkin ada satu ada dua yang melenceng, tak sesuai standar,” kata Yudi.
“Nah, pemikiran yang semacam ini yang harus diubah. Jika tidak, tak ubahnya mentolerir produk yang tak sesuai standar, terus beredar. Kalau satu dari seribu, jika produknya ratusan ribu hingga jutaan, sudah berapa yang tidak standar," kata Heri.
“Artinya kualitas produksi sesuai standar harus menjadi perhatian. Jika ditemukan produk tidak standar, ya ditarik, jangan diedarkan karena dapat merugikan masyarakat,” jelas mas Bro.
“Itu kalau ketahuan, karena terselip, tidak ketahuan gimana,” kata Yudi.
“Kalau jumlahnya sedikit, boleh jadi terselip, sebut saja sebuah kecelakaan, tetapi kalau jumlahnya banyak, semua takaran sama, berkurang volumenya, gimana menurut kalian?” kata Heri.
“Yang jelas, seperti diberitakan dari Satgas Pangan, terdapat kecurangan karena isi tak sesuai dengan label yang terdapat dalam kemasan. Selain itu, harga dijual di atas HET yang telah ditetapkan,” kata mas Bro.