Master Plan Pengendalian Banjir Jakarta Sudah Usang

Kamis 30 Jan 2025, 21:17 WIB
Warga melintasi banjir di Jalan Satria II, Grogol, Jakarta Barat, Rabu, 29 Januari 2025. Banjir setinggi 40 hingga 70 cm, melanda kawasan tersebut semenjak dini hari akibat dari hujan yang tak berhenti. (Sumber: (Poskota/Bilal Nugraha Ginanjar))

Warga melintasi banjir di Jalan Satria II, Grogol, Jakarta Barat, Rabu, 29 Januari 2025. Banjir setinggi 40 hingga 70 cm, melanda kawasan tersebut semenjak dini hari akibat dari hujan yang tak berhenti. (Sumber: (Poskota/Bilal Nugraha Ginanjar))

JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Hujan dengan intensitas tinggi yang mengguyur wilayah Jakarta dan sekitarnya menyebabkan banjir di beberapa titik di Jakarta.

Selain hujan lebat, kemunculan genangan air yang tinggi juga tidak terlepas dari master plan pengendalian banjir Jakarta sudah usang. Sehingga sistem pengendalian banjir sudah tidak sesuai dengan perkembangan bentang alam saat ini.

"Yang harus kita amati adalah master plan perencanaan pengendalian banjir Jakarta itu dibuat tahun 1974. Menteri PUPR sudah mengatakan kondisi itu sudah tidak sesuai dengan kondisi yang terjadi sekarang," ujar pengamat Tata Kota Universitas Trisakti, Yayat Supriatna kepada Poskota, Kamis, 30 Januari 2025.

Sehingga dengan master plan yang sudah berusia 50 tahun, Yayat menilai sudah tidak kompatibel dengan kondisi lingkungan saat ini.

Baca Juga: BNPB Serahkan Bantuan Rp150 Juta untuk Bencana Banjir dan Longsor di Mamuju

Seperti terjadinya pendangkalan akibat tingginya sedimentasi, penyempitan, perubahan bentang alam akibat masifnya pembangunan yang tidak dibarengi dengan peningkatan infrastruktur pengendali banjir. Sehingga kapasitas yang ada sudah tak bisa menampung debit air pada saat hujan deras.

"Ketika kota sudah makin berkembang, kepadatan makin tinggi, perubahan landscape ruangnya makin besar, otomatis sistem drenase kita mungkin ada di jaman kolonial tapi masih dipakai di jaman milenial," kata Yayat.

Di samping itu, Yayat juga mengkritisi masifnya pembangunan jalan raya tidak diimbangi dengan drainase atau saluran.

Baca Juga: PLN Tinjau Langsung Lokasi Terdampak Banjir di Jakarta

Belum lagi banyak saluran air yang tidak dilakukan perawatan dengan baik, sehingga pada saat hujan turun tidak bisa berfungsi dengan optimal dan ujungnya menyebabkan genangan.

Selain itu, banyaknya tali-tali air yang tersumbat, bahkan gorong-gorong ditutup dijadikan lahan jualan atau parkir kendaraan.

"Coba cek, dana pemeliharaan jalan lebih maksimal dibandingkan dengan dana pemeliharaan drenase. Dua tahun terakhir ini nggak begitu banyak kegiatan-kegiatan untuk menormalisasi atau pengerukan, pembersihan saluran air," katanya.

Selain itu, pemerintah provinsi (Pemprov) Jakarta juga harus memperhatikan wilayah-wilayah yang tidak tercover dengan sistem layanan penaggulangan banjir. Salah satunya adalah saluran air di pemukiman-pemukiman padat penduduk.

Sebab, kata dia, tidak menutup kemungkinan saluran air yang ada di pemukiman padat penduduk tidak tersambung dengan sekundernya atau saluran primernya.

"Airnya muter-muter saja di situ. Karena kalau air-air yang ada di kawasan padat, di cekungan, memang kalau tidak bisa dibuang, diangkat ya pakai pompa. Jadi Jakarta ini harusnya memang kota yang banyak pompanya," ucapnya.

Selanjutnya untuk solusi untuk Pemprov Jakarta untuk mengatasi bencana laten ini, kata Yayat, adalah dengan meningkatkan kapasitas infrastruktur airnya.

Mulai dari normalisasi sungai secara maksimal, dan memperbarui drainase menjadi lebih optimal lagi. Kemudian juga kawasan-kawasan rawan banjir, termasuk wilayah yang sudah tidak bisa ditolong seperti pesisir utara Jakarta.

"Apakah banjir rob bisa diatasi sekarang atau menunggu tanggul laut selesai? Berapa lama warga harus menunggu? Atau janji proyek belum bisa diwujudkan, maka harus ada konsep namanya living harmony with water, berdamai dengan air," ujarnya.

Berita Terkait

News Update