Kopi Pagi: Menyoal Sistem Pemilu  

Kamis 16 Jan 2025, 08:03 WIB
Kopi Pagi: Menyoal Sistem Pemilu  (Sumber: Poskota)

Kopi Pagi: Menyoal Sistem Pemilu (Sumber: Poskota)

“Menjadi tanggung jawab bersama untuk memagari perkembangan demokrasi agar tidak melenceng dari ruhnya. Tidak melenceng dari pijakan awal berdirinya negeri ini sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, negara yang berkedaulatan dalam bingkai NKRI..”

-Harmoko-

Kita menganut sistem pemilu secara serentak baik itu pemilihan legislatif (pileg) pemilihan presiden (pilpres)  maupun pemilihan kepala daerah (pilkada).

Hanya saja, pelaksanaan pemilu yang tanpa jeda waktu yang cukup, dapat menimbulkan kelelahan dan kejenuhan politik.

Jarak yang begitu dekat antara pilpres dan pilkada yang lalu menjadi catatan penting, akibat menurunnya angka partisipasi politik masyarakat dalam memberikan hak suaranya.

Itulah sebabnya, mencuat banyak usulan agar jarak pemilu yang satu ke pemilu lainnya tidak terlalu dekat, setidaknya dengan jeda setahun seperti halnya ketika menyelenggarakan pilkada ulang.

Itu baru dari jeda waktu, belum lagi urgensi pemilu dikaitkan dengan terbentuknya tatanan kenegaraan dan pemerintahan.

Melalui kolom ini, Senin (13/1/2025) lalu disampaikan bahwa setidaknya terdapat dua hal penting yang menjadi prioritas dalam revisi undang – undang tentang pemilu.

Pertama, merumuskan ketentuan ambang batas parlemen (parliamentary threshold). Kedua, menentukan jadwal pelaksanaan pemilu legislatif (pileg), pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan kepala daerah (pilkada).

Mengenai ambang batas parlemen telah diulas pada kolom ini. Lantas bagaimana merumuskan jadwal pemilu ke depan? Jawabnya akan beragam, tetapi prinsip dasarnya adalah bagaimana pemilu disambut suka cita oleh rakyat.

Ibarat pesta adalah pesta yang menggembirakan, bukan melelahkan, bukan pula membosankan. Boleh jadi pesta digelar begitu mewah, tetapi jika tidak banyak dihadiri oleh undangan, hajatan besar akan sia- sia.

Partisipasi publik memenuhi undangan pemilu menjadi parameter suksesnya gelaran pesta demokrasi.

Patut diingat, pemilu sebagai sarana partisipasi politik masyarakat. Melalui pemilu, rakyat secara langsung dapat menetapkan kebijakan publik melalui dukungannya kepada kontestan yang memiliki program aspiratif.

Dengan kata lain, tujuan pemilu adalah untuk menyeleksi para pemimpin pemerintahan baik eksekutif maupun legislatif. Tidak kalah pentingnya sebagai sarana membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana diamanatkan UUD NRI 1945.

Itulah mengapa tak sedikit yang mempertanyakan soal legitimasi kekuasaan, jika partisipasi politik rakyat dalam pemilu sangatlah rendah.

Makna yang hendak saya sampaikan adalah menetapkan jadwal pemilu yang dapat menggerakkan partisipasi politik masyarakat secara langsung menjadi urgen. Kian tinggi tingkat partisipasi pemilih, legitimasi kekuasaan semakin kuat. Sebaliknya, kian rendah, legitimasi rakyat patut dipertanyakan.

Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah menetapkan jadwal urutan pemilu. Dapat dipahami, pemilu sebagai sarana membentuk perwakilan rakyat, dimana rakyat memilih para wakilnya yang dipercaya untuk menyalurkan aspirasi dan kepentingannya.

Melalui para wakilnya yang terpercaya itulah, rakyat menyerahkan kebijakan dalam menentukan siapa yang akan memegang tampuk pemerintahan.

Karenanya, ideal jika pemilu legislatif untuk memilih anggota DPR RI, DPRD, serta anggota DPD didahulukan, sebelum pemilihan presiden dan kepala daerah. 

Pileg juga sebagai uji publik terhadap partai politik dan para kadernya. Parpol dan kader yang aspiratif, tentu akan banyak  dipilih, sebaliknya yang masih diragukan tidak akan dipilih.

Hasil pileg inilah yang nantinya akan menentukan siapa yang layak menjadi kandidat calon presiden dan calon wakil presiden hingga kandidat para calon kepala daerah yang diusulkan oleh parpol peserta pemilu. Terlebih setelah presidential threshold tidak ada lagi.

Parpol pemenang pemilu, memperoleh suara terbanyak tentu lebih diperhitungkan, ketimbang yang tidak melewati ambang batas parlemen, meski sebut saja, mempunyai hak memajukan pasangan calon  presiden dan wapres.

Setelah gelaran pileg, barulah pilpres, kemudian yang terakhir adalah pilkada serentak. Tentu, dengan jeda waktu yang cukup  agar tidak menimbulkan kelelahan politik. Perlu dihindari dalam setahun menggelar dua kali pemilu.

Bagaimana mekanisme dan rumusannya, tentu menjadi kewenangan pemerintah dan DPR untuk merevisi undang – undang tentang parpol, termasuk sistem pemilu di negeri kita.

Satu hal yang tak boleh dilupakan dalam marwah demokrasi Pancasila, rakyat memiliki kekuasaan penuh dalam menjalankan pemerintahan dan diberi hak yang sama dan setara dalam pengambilan keputusan.

Itu rumusan demokrasi yang sesungguhnya yang semestinya dijalankan dalam sistem pemerintahan di negara yang menganut demokrasi, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.

Menjadi tanggung jawab bersama untuk memagari perkembangan demokrasi agar tidak melenceng dari ruhnya. Tidak melenceng dari pijakan awal berdirinya negeri ini sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, negara yang berkedaulatan dalam bingkai NKRI. (Azisoko).

Berita Terkait

Kopi Pagi: Awali dengan Senyuman

Kamis 02 Jan 2025, 07:59 WIB
undefined

Kopi Pagi: Membangun Kepercayaan Baru

Kamis 09 Jan 2025, 08:02 WIB
undefined

Kopi Pagi: Pileg Masa Depan

Senin 13 Jan 2025, 08:02 WIB
undefined

News Update