Harvey Moeis saat di ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (23/12), usai mendengar vonis 6,5 tahun penjara. (Poskota/R Sormin)

NEWS

Korupsi Rp300 Triliun, Hanya 6,5 Tahun Penjara? Vonis Harvey Moeis Cenderung Memanjakan Pelaku Korupsi Dibanding Memberikan Efek Jera

Sabtu 28 Des 2024, 16:25 WIB

POSKOTA.CO.ID - Kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah yang merugikan negara hingga Rp 300 triliun akhirnya mencapai babak akhir.

Namun, vonis terhadap pengusaha Harvey Moeis, salah satu terdakwa utama, memicu kontroversi di kalangan publik.

Pasalnya, Harvey hanya dijatuhi hukuman 6,5 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta, jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa Kejaksaan Agung (Kejagung) yang meminta 12 tahun kurungan.

Majelis hakim yang dipimpin oleh Eko Aryanto menyampaikan alasan di balik vonis tersebut. Menurut hakim, hukuman 12 tahun dinilai terlalu berat untuk Harvey Moeis yang dianggap tidak memiliki peran besar dalam rangkaian kasus korupsi tersebut.

“Majelis hakim mempertimbangkan tuntutan 12 tahun terlalu berat jika dibandingkan dengan kesalahan terdakwa sebagaimana kronologi perkara itu,” ujar Eko Aryanto saat membacakan putusan di ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (23/12).

Dalam persidangan, hakim juga menyoroti fakta bahwa Harvey Moeis hanya bertindak sebagai pelaksana yang mengikuti arahan dari pihak lain yang memiliki pengaruh lebih besar dalam skema korupsi tata niaga timah tersebut.

Meskipun perannya terbatas, pengusaha tambang itu tetap dinyatakan bersalah karena turut serta dalam praktik yang merugikan keuangan negara secara masif.

Kasus ini mengingatkan publik pada pola lama dalam penanganan korupsi di Indonesia, di mana hukuman ringan kerap diberikan kepada koruptor kelas kakap. Hal ini memicu spekulasi bahwa sistem hukum di Indonesia cenderung memanjakan pelaku korupsi dibanding memberikan efek jera.

Keputusan hakim ini menuai beragam reaksi netizen di paltform X dan memberikan kritik, bahwa vonis tersebut mencerminkan adanya ruang diskresi yang dimiliki hakim dalam menilai tingkat kesalahan terdakwa.

“Hakim memiliki wewenang untuk mempertimbangkan faktor-faktor yang meringankan terdakwa, termasuk sejauh mana peran terdakwa dalam kasus tersebut. Namun, vonis ini tetap harus menjawab pertanyaan masyarakat terkait keadilan dan efek jera,” ujar R***

Masyarakat mempertanyakan keadilan dalam vonis ini. Beberapa pihak menganggap hukuman 6,5 tahun terlalu ringan untuk kerugian negara yang begitu besar.

Proses hukum terhadap Harvey Moeis juga sempat menjadi sorotan karena ekspresi santainya selama persidangan, yang membuat publik semakin skeptis terhadap integritas penegakan hukum di Indonesia.

Dalam kasus ini, sejumlah pihak lain juga dijatuhi hukuman. Namun, sebagian besar hukuman berada di bawah 10 tahun penjara. Jaksa penuntut umum sebelumnya menyatakan bahwa korupsi dalam tata niaga timah melibatkan jaringan yang kompleks, dengan banyak aktor yang memainkan peran berbeda.

“Kami menghormati putusan hakim, tetapi kami akan mengajukan banding untuk memastikan hukuman yang lebih mencerminkan kerugian negara,” kata jaksa Andi Rahman usai sidang.

Kasus ini menambah daftar panjang skandal korupsi besar di Indonesia yang berakhir dengan vonis ringan. Publik berharap ada langkah konkret untuk memastikan keadilan ditegakkan, termasuk reformasi dalam sistem hukum.

Seperti yang disampaikan oleh salah satu pengamat, “Jika kasus seperti ini terus berulang dengan vonis yang minim efek jera, maka sulit berharap perubahan dalam budaya korupsi di Indonesia.”

Dapatkan berita dan informasi menarik lainnya di Google News dan jangan lupa ikuti kanal WhatsApp Poskota agar tak ketinggalan update berita setiap hari. 

Tags:
korupsi Rp 300 triliunVonis Harvey MOeistata niaga timahpengadilan Tipikor JakartaKejaksaan Agungkeadilan hukum Indonesiaefek jera korupsi.

Yusuf Sidiq Khoiruman

Reporter

Yusuf Sidiq Khoiruman

Editor