POSKOTA.CO.ID - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada sesi kedua perdagangan jelang akhir pekan di Jumat 13 Desember 2024 kemarin kembali mengalami pelemahan.
Meski demikian, IHSG masih bertahan di atas level 7.300-an setelah sempat menyentuh level tertinggi 7.490 beberapa hari lalu.
Retail Research Analyst Bahana Sekuritas, Dimas Pratama, memberikan ulasan mendalam terkait pergerakan IHSG
Resisten Kuat
Menurut Dimas, kenaikan IHSG yang dimulai dari awal bulan, dengan titik awal di level 7.100, banyak ditopang oleh saham-saham grup Barito dan sektor perbankan big cap.
Namun, saat menyentuh level 7.490–7.500, IHSG menghadapi tekanan profit taking, yang menyebabkan indeks kehabisan tenaga untuk melanjutkan penguatan.
Level 7.500 menjadi resistensi yang cukup kuat, sehingga aksi profit taking tidak terhindarkan.
"Pergerakan IHSG sebenarnya sudah terlihat sejak awal bulan ketika indeks bergerak dari level 7.100. Dorongan ini terjadi karena kontribusi saham-saham di sektor Grup Barito dan perbankan big cap,” kata Dimas dalam sebuah wawancara zoom di salah satu stasiun TV nasonal, seperti dikutip Sabtu 14 Desember 2024.
Selain faktor internal, lanjut dia, sentimen dari luar negeri juga turut memengaruhi IHSG.
Data inflasi AS (CPI dan PPI) yang dirilis baru-baru ini menunjukkan potensi penurunan suku bunga yang lebih terbatas.
Di sisi lain, indeks dolar AS terus menguat hingga menembus level 107. Sementara itu, nilai tukar rupiah mengalami pelemahan ke level 16.020, yang menambah tekanan bagi pasar domestik.
"Jika melihat kondisi ini, window dressing akhir tahun kemungkinan besar sudah terjadi dalam dua minggu terakhir. Minggu depan, kita bisa melihat lebih banyak aksi profit taking atau konsolidasi, dengan level 7.400–7.500 yang akan menjadi area kunci untuk dijaga pasar,” ujarnya.
Dampak Kebijakan The Fed terhadap IHSG
Pernyataan Jerome Powell sebelumnya menyebutkan bahwa The Fed akan lebih berhati-hati di tengah solidnya ekonomi AS.
Data tenaga kerja yang melambat sedikit mengurangi kekhawatiran akan inflasi yang tinggi, meskipun CPI masih berada di sekitar 2,7 persen dan PPI naik dari 2,6 persen menjadi 3 persen.
Kondisi tersebut memperbesar kemungkinan kenaikan suku bunga 25 basis poin di Desember, namun langkah selanjutnya akan sangat bergantung pada perkembangan data ekonomi.
“Ketidakpastian ini memicu capital outflow dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia. Hal ini berdampak pada pelemahan nilai tukar rupiah dan kenaikan yield obligasi 10 tahun Indonesia, yang kini kembali menembus level 7persen,” ungkapnya.
Prospek IHSG Jangka Pendek dan Menengah
Dimas mengatakan, kunci utama prospek IHSG jangka pendek dan menengah terletak pada sentimen dari luar negeri, terutama kebijakan The Fed dan langkah-langkah stimulus dari China.
Pada kuartal pertama 2025 tahun depan, pasar akan menghadapi dinamika yang lebih kompleks dengan potensi kebijakan perdagangan baru dari AS.
Indeks dolar yang terus menguat juga menjadi tantangan, karena dapat meningkatkan beban ekspor.
Jika yield obligasi AS menembus level 4,7persen, investor akan meminta imbal hasil yang lebih tinggi, yang berpotensi menekan pasar negara berkembang.
Mengutip tradingeconomics.com, hasil pada obligasi pemerintah AS 10 tahun tetap di atas 4,32% pada hari Jumat kemarin.
“Sekarang kan US treasury yield di 4,3 (persen) kan, karena level 4,7 kemarin itu level criritical. Kalau dijebol 4,7 dia bahkan bisa ke 5,3. Nah itu kan di atas dari Fed Rate sendiri, mau enggak mau nanti dikhawatirkan kalau kalau tembus 4,7, itu akan apa kembali investor minta imbalas yang lebih tinggi nah itu yang dikhawatirkan,” papar Dimas.
Dapatkan berita dan informasi menarik lainnya di Google News dan jangan lupa ikuti kanal WhatsApp Poskota agar tak ketinggalan update berita setiap hari.